Jumat, 19 Februari 2010

MEMBESARKAN BANGSA DI TENGAH PRAKTEK PEMBODOHAN RAKYAT



REFLEKSI :
MEMBESARKAN BANGSA DI TENGAH
PRAKTEK PEMBODOHAN RAKYAT

oleh : Iwan Gunawan.

• dibuat tahun 1998, diterbitkan kembali sebagai album saat bergulirnya reformasi.

Rakyat mungkin bangga hati pernah punya dua orang presiden yang memegang tampuk kekuasaan begitu panjang. Soekarno memimpin bangsa selama kurang lebih 20 tahun. Dan Soeharto lebih lama lagi, mengendalikan pemerintahan sekitar 32 tahun. Sejarah menggoreskan keduanya adalah orang-orang besar. Soekarno bergelar Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dan Soeharto Bapak Pembangunan.

Ironis, keduanya jatuh dari puncak kekuasaan secara abnormal. Soeharto jatuh di tengah krisis ekonomi yang kini sedang berjalan. Padahal karena kepiawaiannya dalam mengatasi persoalan ekonomi nasional, penghargaan Bapak Pembangunan itu diberikan. Soekarno jatuh dalam situasi krisis politik, disebabkan terjadi kudeta G-30 S/PKI yang menghancurkan persatuan. Justru pengangkatan PBR menunjukkan betapa besar kepercayaan rakyat dalam menciptakan solidaritas bangsa. Mungkin ini "hukum besi" sejarah, bahwa seunggul apapun pribadi pemimpin pastilah punya kelemahan, kekurangan dan keterbatasan. Pengalaman yang perlu dipetik oleh para pemimpin bangsa ke depan. Bahwa apapun keunggulan pada dirinya tak akan mampu melawan batas jaman.

Bila kita rajin membaca sejarah bangsa, ironi semacam ini makin lebih banyak lagi. Dan hal itu barang kali dapat dilacak dalam pertanyaan : Mengapa tokoh dan pemimpin, di negeri ini bagai Ratu Adil, yang disembah puja rakyat agar dapat lepas dari belenggu penjajahan, kemiskinan dan keterbelakangan, mendapat gelar kebesaran dan terjatuh dari kekuasaan dengan kebesarannya ? Apa sesungguhnya yang terpendam dalam belahan dada rakyat, bila mereka bangga pada pemimpinnya, namun nasibnya tak kunjung mengalami perbaikan (too late too little) ? Siapa yang salah ? Pemimpin ataukah rakyat ? dan bagaimanakah eksistensi mahasiswa sebagai kaum terpelajar di antara keduanya ?

Agar pertanyaan itu menjadi relevan dengan situasi kini. maka pertanyaanya menjadi : apakah geruntulan persoalan bangsa mutakhir, seperti krisis moneter, kesulitan pangan, ketidakpastian hukum dan politik, aparatus setan gundul (penculikan, penjarahan, perkosaan, sniper), kian membumbungnya hutang luar negeri, sistem pendidikan yang amburadul dan seabrek persoalan lain. Dapat terpecahkan melalui pengangkatan seorang presiden yang bernama Habibie, yang diakui teknolog, sipil (bukan militer), Bugis, muslim dan mungkin juga sebagaimana yang dikatakan banyak orang, pemimpin yang lugu polos dilingkari oleh para cendekiawan ?

Barangkali ironi ini dapat diteruskan dengan pertanyaan, mengapa di tanah air kita yang terungkap dalam salah satu baris dalam lagu Koes Plus bahwa tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman. Juga mungkin masih terngiang dalam telinga ucapan guru kita ketika masih bocah. bahwa nusantara kita punya, terdiri dari lautan dan pulau dengan kekayaan alam yang tidak akan habis, meski terus di gali hingga kiamat nanti. Namun nyatanya sampai hari ini rakyat tetap miskin, bodoh, lapar dan menganggur ?
***

Barangkali kita akan tergugah bila mendengar seseorang berkata.”bagi kita rakyat Indonesia menjadi kaya adalah suatu kenyataan, bukan khayalan”. Namun rasanya di jaman Reformasi kini siapa pun akan kesulitan untuk mengerti, meskipun sarjana, doktor ataupun profesor. Mengapa ? karena dari sudut pandang ilmiah tak ada bukti dan faktanya. Bila memang apa yang disebut ilmiah harus ada fakta.
Gambaran itu, sebenarnya tidaklah berarti bahwa bagi rakyat Indonesia menjadi kaya adalah khayalan. Namun menyiratkan bahwa sebenarnya menjadi kaya bagi rakyat adalah bukan semata khayalalan, tapi adalah benar-benar sebuah kenyataan. Sayang kenyataan itu telah dirampas, dirampok dan dijarah oleh sebagian kecil orang dari bangsa sendiri yang kemaruk dan terimingi oleh impian dan khayalannya. Siapa tak kenal Edi Tansil ? Betapa borok birokrasi ketika terdengar bahwa APBN bocor sekitar 30 %. Apa kita bisa terima bila "Keluarga Cendana" memonopoli hampir seluruh sektor perekonomian negeri ini ? Mungkin pula kita masih ingat dengan kasus BPPC dan Mobil Timor, terbakarnya hutan Kalimantan, kasus Busang dan banyak lainnya.

Hingga, bila kini ada sekitar 113 juta orang Indonesia termiskinkan (Kompas, Juni 1998) maka sebenarnya mereka sedang hidup di negeri khayalan. Karena menjadi miskin adalah kemustahilan bagi rakyat di tanah air yang kaya ini. Dan tentu saja hidup di negeri khayalan, bagai tidur dalam impian, hingga para pakar ekonomi maupun politik sehebat apa pun tidak menduga malapetaka krisis multidimensi akan menimpa negeri ini. Apakah ini menunjukkan rabunnya paradigma ilmiah dari para pakar dan intelektual yang tumbuh pada masa Orde Baru ? Dan sungguh telah kita saksikan hingar-bingar perdebatan ilmiah itu, bagai menggantang asap.

Ringkasnya, kemiskinan yang dialami oleh rakyat sejak jaman koloni, revolusi, Orde Lama, Orde Baru sampai Reformasi politik kini, bukan takdir Tuhan tapi memang rekayasa segelintir orang (oknum) ! Tentu saja, karena tempo rekayasa ini begitu panjang, maka pelaku dan modus operandinya berlainan.
Ironisnya Tuhan seakan-akan tidak adil, bahwa para pelakunya tidak pernah sampai ke meja hijau untuk divonis dengan hukuman yang seadil-adilnya. Mungkin dalam masa kolonial dimaklumi terjadi, karena kebenaran akan rasa keadilan dan moralitas hanyalah klaim penjajah. Tapi menjadi tidak wajar apabila UUD 1945 yang menyatakan : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Namun hukum masih dilaksanakan dengan pilih bulu. Mungkin benar, kalau ada orang mengatakan bahwa sejarah itu ibarat pornografi. Membuka yang tertutup dan sekaligus menutup yang terbuka. Sejarah hanyalah riwayat para lakon, mungkin riwayat kita sendiri, selalu benar dan tidak pernah salah. Dengan demikian, apa yang kini disebut sejarah adalah sejarah "para malaikat yang suci".

Keadilan itu penting agar rakyat haqqul yakin bahwa yang salah itu pasti terperosok ke neraka kesengsaraan. Dan yang benar itu pasti meraih surga kebahagiaan. Begitulah ajaran yang sering kita dengar dari ucapan para pemimpin negara, partai politik maupun tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Namun rupanya keadilan masih khayalan, selalu saja kita temukan yang bersalah itu selamat dan ada yang menyelamatkan. Sering kali, benak kita bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh para pemimpin bangsa ini ? Tidak bisa dipungkiri, dan kitapun kemudian harus meyakini, bahwa sebenarnya rakyat tidak miskin tapi dimiskinkan; rakyat sebenarnya tidak bodoh, tapi dibodohkan. Sebagai akibat dari tidak adanya kesamaan ucapan dan perbuatan para pemimpin. Jadi kemanakah rakyat harus mengadu ?

Dalam keadaan miskin, haus, lapar dan bodoh rakyat menjadi merasa kerdil, kecil, kecut, takut, minder dan segala macam perasaan hina yang lainnya. Sehingga membelenggu mental menjadi tertutup, terbelakang, terkekang dan labil. Apakah bangsa dengan rakyat yang bermental demikian dapat maju, berkembang dan menjadi besar ? Merasa yakinkah kita bahwa para tokoh reformasi sekarang ini pun tidak demikian ? Dan bagaimanakah mahasiswa ? Apakah mahasiswa mampu menjadi ujung tombak bagi perubahan dan kemajuan bangsa ? Apakah akan tenggelam dalam lautan ilmu pengetahuan saja ? Juga larut dalam hiruk pikuk di perjudian kursi politik kekuasaan ? Dan dapatkah dibedakan antara yang haus kekuasaan dengan yang akan menciptakan keadilan ?
***
Rasanya agak berlebihan bila untuk melepaskan belenggu ini, mahasiswa harus mendidik, membina, membimbing, menyadarkan atau pun mengarahkan rakyat. Namun, yang lebih tepat barang kali, mahasiswa perlu membangkitkan diri dengan cita-cita dan ide-ide yang menyatukannya dengan rakyat. Sehingga pikiran-pikiran yang ditemukan menjadi sifat-sifat dirinya. Ini berarti, kesuksesan mahasiswa dalam gerakan-gerakan mencerdaskan, mengkayakan, dan membesarkan bangsa yang telah merdeka, tergantung dari kejernihan hati, kelapangan jiwa dan ketajaman pikiran dalam hidup bersama rakyat, yang tercermin pada tindakan.

Apakah akan lahir sifat-sifat kemanusiaan seperti yang terdapat pada Fir’aun, Qorun, Bal'am, Hamam ataukah Musa, Isa, Muhammad seperti dalam kisah-kisah Qur'an. Atau juga semacam sifat-sifat Karl Mark, Hitler, Machiavelli, Khomaeni, Gorbachev, Deng Xiaoping, Fidel Castro, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Amir Syarifudin, Soeharto dan orang-orang besar lainnya. Menjadi ilham bagi kaum terpelajar dalam peduli pada rakyat. Bisa pula sifat lain yang menyisipkan sejumlah kebenaran, kezaliman, kebaikan, kejahatan atau sebongkah kepalsuan baru. Semuanya akan tergurat hitam diatas putih dalam jejak-jejak perjalanan bangsa yang tidak mudah terhapus dalam rekaman rakyat seantero bangsa.

Mungkin bila memang rakyat masih punya rasa keadilan sebagai manusia. Sungguh kepercayaan terhadap mahasiswa sebagai generasi baru dan pembawa suara baru, tidak akan pernah pudar. Mereka yakin, bahwa jantung dan mata hati mahasiswa senantiasa bersih, jernih, bening, dan tajam dalam merasakan penderitaan rakyat. Tidak berlebihan bila sebagian besar dari rakyat (baik awam maupun intelek) mengatakan "kata-kata yang terlontar dari mahasiswa adalah kata-kata suci dan bertuah". Namun sayang, masih banyak dari mahasiswa, jangankan bicara, untuk membuka mulut saja susah. Padahal pada masa-masa sebagai mahasiswalah peluang untuk bicara paling lebar terbuka. Mungkin pengertian mahasiswa kini perlu direvisi, agar mahasiswa sadar akan fungsi dari keberadaannya. Yakni hanya anak muda yang berani bersuara, berbicara, bukan diam berjuta-juta kata, mereka yang berhak menyandangnya.

Secara alami kebersihan hati itu bagai air, bila lama tak mengalir akan menjadi kotor dan bau. Pula hati sebaik, sebenar, atau seindah apa pun menjadi tidak bernilai, bila lidah yang dianugerahkan Tuhan, tidak pernah melontarkan suara dan kata-kata. Ada benarnya petuah yang menyatakan bahwa untuk menjadi orang besar, kaya, dan cerdas adalah hanya cukup dengan bicara, bersuara atau berkata-kata. Yakni mengatakan kenyataan dengan cerdas, jujur, benar dan dapat dipercaya.

Tak ada satu pun manusia yang rela dirinya dikutuk, dicerca, dihina dan dilecehkan oleh sesama. Semua manusia berharap menjadi bermanfaat, dan baik serta dipercaya dan diakui. Namun perlu disadari, tidak selamanya manusia sanggup meskipun ingin memperolehnya. Oleh karena itu, barangkali kita perlu berkaca pada yang telah diguratkan Sartre yang dengan lembut membisikan : “Sejarah datang bagai tamu mengetuk pintu, dan bila yang ditemuinya orang-orang kerdil hingga tak berani buka pintu, mungkin dia akan kembali seratus tahun lagi”.

Wallahu a’lam bisshowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar