Jumat, 19 Februari 2010

KEKUASAAN MERITOKRASI BUKAN KEMUSTAHILAN


Oleh : Iwan Gunawan


Judul : MOHAMMAD AMIEN RAIS, PUTRA NUSANTARA
Tim Penulis : Asman Abnur, Irwan Omar dan Muhammad Najib
Pencetak : Stamford Press, Singapura
Tahun Terbit : Edisi kedua, Januari 2004
Halaman : 280 halaman

Tak sedikit orang berpandangan bahwa demokrasi mahal. Peraihan kursi politik tergantung dari berapa banyak uang ditunaikan untuk memenangkan persaingan. Meski kemerdekaan Indonesia lebih separuh abad, para politisinya di parlemen masih jauh dari karakter dan kapasitas yang diharapkan. Maka, tak heran mereka kerap dituding sebagai kaum medioker. Problem-problem bangsa masih jarang terpecahkan secara tepat untuk memajukan kesejahteraan rakyat.


Sosok Fenomenal
Amien Rais adalah sosok politisi yang fenomenal. Terpilihnya ia menduduki Jabatan Ketua MPR-RI (1999- 2004) justru merupakan pengecualian dari pandangan pesimis akan tegaknya kekuasaan meritokrasi. Dimana kualitas karakter, pengalaman dan kemampuan kepemimpinan seseorang cenderung diragukan dalam bargaining memenangkan persaingan politik.

Namun dari kehidupan Amien yang bersahaja ternyata ia lolos menduduki jabatan terhormat itu. Integritasnya dalam mendorong dan mengawal reformasi tentu saja menjadi kekuatan moral dan prestasi bernilai bagi terjadinya perubahan politik yang diharapkan publik. Padahal ketika ia belajar di Amerika (1970-an), sedikitpun tak terbersit olehnya akan memasuki kepemimpinan nasional pada tiga dekade kemudian. Dalam kesadarannya hanyalah bahwa Indonesia membutuhkan dorongan ekonomi dan kepemimpinan yang etis.

Ia mengabdi sebagai dosen hingga menjadi Guru Besar di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1981). Meniti karir organisasi di Muhammadiyah dan kemudian menjadi Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) di tahun 1995. Istrinya, Kusnasriyati mengelola warung makan dan taman kanak-kanak disamping mengurus keluarga. Kebersahajaannya tak pernah menjadi kendala berarti untuk selalu berbuat terbaik dalam berbagai aspek kehidupan seperti keluarga, akademis, kemasyarakatan dan juga politik.
Pada masa Soeharto berkuasa, Amien skeptis menyaksikan perkembangan Indonesia. Ketika perekonomian menunjukkan kemajuan, rakyat justru menglamai kenyataan sebaliknya. Nasib mereka sangat merana karena tidak dapat menembus lingkaran nepotisme Soeharto dan kroni bisnisnya. Pengawasan tidak mampu menyentuh dinding birokrasi di semua tingkatan. Sehingga transparansi hanya menjadi isapan jempol. Anggota parlemen yang seharusnya menjadi pemantau eksekutif justru menolak untuk mengumumkan aset dan kekayaan mereka. Wakil rakyat cenderung menikmati keuntungan jangka panjang dan menganggap sebagai hasil jerih payahnya dalam mendapatkan kursi jabatan.

Dalam hal terjadinya reformasi ia yakin jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar disebabkan oleh lemahnya fundamental ekonomi dan bukan karena manuver politik. Soeharto sukses membawa bangsa ini menggagalkan kudeta PKI. Di bawah bimbingannya negara kita menata dan membangun ekonomi yang kuat. Namun dibalik semua fakta itu multi krisis sebagaimana dialami telah memunculkan kebutuhan untuk reformasi.

Kritis dan berani
Amien menonjol dengan aktivitas dan pernyataan-pernyataannya yang cerdas dan kritis. Pada mula bergulirnya reformasi, ayah dari lima anak yang lahir di Solo 26 April 1944 ini didaulat berbagai kalangan aktivis sebagai Bapak Reformasi. Selain itu ia diultimatum untuk menyatakan mencalonkan diri menjadi presiden. Pernyataannya kemudian dianggap sebagai tindakan yang amat berani di tengah rezim militer Soeharto masih mengendalikan kekuasaan.

Sikapnya itu bukan semata-mata didorong hasrat untuk berkuasa. Melainkan karena keprihatinan atas penderitaan rakyat akibat kesalahan kepemimpinan nasional yang otoriter dan korup. Ia melihat, keterpurukan bangsa ini harus diperbaiki mulai dari tampuk kekuasaan. Walaupun banyak pihak mengkhawatirkan keselamatannya. Namun keyakinannya yang merupakan manifestasi dari semangat untuk menyuarakan aspirasi politik rakyat menyebabkan ia terus maju dengan mantap.

Obsesi itulah yang kemudian setelah Soeharto lengser, Partai Amanat Nasional (PAN) didirikannya bersama-sama dengan para tokoh reformis lain. Suara yang diperoleh PAN pada Pemilu 1999 memang tidak cukup signifikan untuk mengantarkannya ke kursi presiden agar dapat mengendalikan upaya pewujudan tujuan reformasi total. Meski itu, ia tampil memimpin MPR-RI dengan keunggulan pribadinya sebagai politisi yang konsisten dan demokrat.

Visi Politik
Tugas-tugas konstitusional yang dipimpinnya tidaklah ringan. Dan lebih berat lagi adalah bagaimana MPR dapat mengimplementasikan agenda reformasi. Dalam hal ini, ia menyatakan,”Ada beberapa hal yang dapat saya pelajari sejak memasuki mainstream politik tahun 1998. Secara politik saya harus menghadirkan keseimbangan antara opini dan kebutuhan rakyat. Hal itu berarti saya harus mendengar, mengenal dan merangkul mereka, sebab mereka menunggu dengan setia bahwa reformasi dan diri saya akan membawa perubahan yang positif. Di dalam lembaga MPR, tantangan-tantangan yang saya hadapi sungguh mengecilkan hati. Terdapat 700 orang di dalamnya dengan berbagai perbedaan”.
Melalui kepemimpinannya, dalam Sidang MPR 1999 Amien telah menghapuskan beberapa mitos. Pertama, anak didik Soeharto (Habibie) telah turun melalui proses demokratis. Kedua, untuk pertama kalinya, para wakil rakyat bebas memilih presiden beserta wakilnya tanpa tekanan politik maupun kekerasan militer.

Kesanggupannya mengimplementasikan agenda reformasi secara konstitusional itu tidak terlepas dari visi politiknya. Di satu sisi, ingin menghidupkan demokrasi dengan melibatkan seluruh partai politik dan kelompok kepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Dan pada sisi lain, bangsa ini harus memulai perjalanan baru dari “pemerintah menurut penguasa” menjadi “pemerintah menurut hukum”. Dimana seluruh warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Moral yang melandasi politik Amien untuk menegakan tatanan kehidupan berbangsa yang mandiri dan pemerintahan yang bersih.

Biografi ini terbagi dalam 4 bagian, (1) Perjalanan Akademik, (2) Berdiri di Persimpangan Politik : 1998, (3) Memasuki Kancah Politik Nasional, (4) Di Puncak Perubahan. Dan secara terpisah diakhiri bagian wawancara yang banyak terkait dengan persoalan seputar Amandemen UUD ’45.
Sebagaimana dikemukakan tim penulisnya, buku ini tidak dimaksudkan sebagai tesis politik untuk mengupas keberhasilan dan kegagalan perjalanan politik. Melainkan untuk menjelaskan visi politik dan perjalanan karier dari seorang akademisi, aktivis sosial sampai menjadi politisi nasional. Konteks sosio-ekonomi yang digeluti Amien, menjadi titik perhatian terpenting karena banyak media dalam menampilkan sosok putra nusantara ini sangat sedikit yang menyinggung hal itu.

Terlepas dari segala kekurangan sebagai manusia. Amien dengan otensitas dan karakternya telah menjadi garda depan dalam transisi politik dari otoriterisme ke demokrasi yang berjalan secara damai. Terlebih dari itu, perjalanan politiknya yang fenomenal menjadi bukti bahwa dibalik kekuatan modal yang selalu mengkontaminasi kancah perpolitikan, kekuasaan meritokratis bukan mustahil bisa dicapai.
Singkatnya, buku yang ditulis dengan gaya bahasa bertutur ini ingin menyampaikan pesan. Dalam kondisi sebobrok apapun, politisi yang berkarakter pasti dibutuhkan rakyat. Dan otensitas politisi selalu menjadi daya pikat dukungan publik untuk duduk dipercaya sebagai pemimpin secara terhormat.
Sangat disayangkan, sampul eksklusif dan kualitas cetakan yang profesional menjadikan harganya cukup tinggi. Mungkin bila lebih murah, hausnya rakyat akan keteladanan figur publik bisa terobati dengan membaca biografi ini. (Igj/5-07].