Ditulis 2007
__________________________
Relasi cendikiawan dan politik kini, menarik untuk diamati. Tidak sedikit pandangan yang menyiratkan, bahwa carut-marutnya politik ekonomi dewasa ini diakibatkan dari terjadinya krisis dukungan publik terhadap cendikiawan. Dan pada saat bersamaan panggung politik kini tengah didominasi kaum medioker.
Pandangan yang mengemuka itu, sekurangnya telah memberikan gambaran ironis dilihat dari karakter cendikiawan sebagai agen perubahan. Pertama, gagasan atau ideologi yang menjadi kekuatan dan daya pikat dari cendikiawan tidak lagi jadi tumpuan untuk memenangkan kompetisi meraih kursi parlemen di era yang kini demokratis. Dimana kapital tengah menggantikan gagasan dalam bargaining kursi kekuasaan. Kedua, seorang cendikiawan dalam realitasnya dipandang tidak memiliki keberanian untuk mengambil resiko dalam menyatakan kebenaran yang menjadi fungsi politiknya. Para cendikiawan lebih menekankan kelanggengan hubungan dengan partai-partai daripada memberikan kritik untuk menciptakan perubahan yang berarti. Dimana partai politik menjadi penentu gagasan yang disuarakan seorang cendekiawan. Ketiga, peminggiran posisi cendikiawan dari panggung politik ini, menyeret kepada timbulnya pemikiran dimana keterlibatan cendikiawan dalam politik dianggap sebagai sebuah keterlibatan dalam konspirasi yang bermakna kotor dan penghianatan.
Keberanian untuk memperjuangkan gagasan merupakan karakter dari seorang cendikiawan. Selain kearifan sebagai orang yang memiliki kedalaman ilmu, wawasan yang luas dan visi ke depan. Di tangan para cendikiawan harapan masyarakat digantungkan. Cendikiawan dan pendukungnya bersama-sama memperjuangkan bagaimana sebuah gagasan diwujudkan, yaitu berupa perubahan dari kondisi tertindas menjadi sebuah bangsa yang bebas, adil dan bermartabat. Dalam konteks ini, ironisme relasi cendikiawan dan politik dari pandangan yang mengemuka menimbulkan tanda tanya, masih adakah cendikiawan di negeri ini ?
Figur Cendikiawan
Secara historis, keterlibatan dalam partai politik bagi cendikiawan di Indonesia bukanlah pilihan yang dianggap kotor dan bentuk penghianatan. Professor Husseyn Alatas seorang sosiolog dari Malaysia mengungkapkan bahwa Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Syafrudin Prawiranegara adalah para cendikiawan yang berada di garis terdepan dari masing-masing partai politiknya dalam memperjuangkan ideologi. Keunggulan gagasan mereka, meskipun kini bisa jadi tidak relevan, masih diminati sebagai sumber kajian dan menjadi inspirasi dalam upaya mewujudkan sebuah bangsa demokratis dan sejahtera.
Tentu saja, bukan hanya keunggulan dari gagasannya saja sehingga mereka menjadi pemimpin partai, akan tetapi juga adalah keberaniannya untuk melawan penindasan. Integritas mereka dalam mewujudkan gagasan keadilan sosial yang dianutnya menjadi teladan publik dan didukung dengan sukarela. Pendek kata, relasi cendikiawan dan politik bukan relasi yang terpisah, berbeda dan berlawanan. Melainkan, karena strategisnya kursi parlemen maka para cendikiawan berupaya dengan segala kreasinya untuk meraihnya.
Orde baru sebagai rezim repressif-otoriter yang membatasi kebebasan, bukan alasan yang kuat bagi para cendikiawan untuk membatasi diri dalam memperjuangkan misi gagasannya. Parlemen dikebiri menjadi sub-ordinat dari kekuasaan rezim. Pemilu sebagai ciri dari negara demokratis hanya dilaksanakan kulit luarnya saja. Betapapun parlemen terkooptasi, tidak mengurangi anggapan akan pentingnya kaum cendikiawan untuk meraih kursi di lembaga legislatif ini. Tidak kurang cendikiawan seperti Cak Nur (HMI) dan Gus Dur (NU) yang mendapat julukan “Guru Bangsa” pernah menjadi anggota parlemen.
Meskipun keterkaitan cendikiawan dan parlemen di Indonesia sangat erat, namun demikian, sejarah menukilkan bahwa parlemen bukan jalan satu-satunya untuk menciptakan perubahan. Amien Rais melalui organisasi Muhammadiyah yang dipimpinnya menyuarakan pentingnya rezim Soeharto mundur. Melalui jalur ekstra parlemen ia tanpa lelah menggaungkan kritik terbuka terhadap otoriterisme rezim. Hingga kemudian momentum reformasi tiba diiringi dengan mundurnya Soeharto. Rupanya Amien Rais harus melakukan “Ijtihad Politik” untuk membangun sebuah partai demi mewujudkan agenda reformasi.
Dalam era reformasi, ketiga figur cendikiawan Cak Nur, Gus Dur dan Amien Rais di atas, telah menjadi pelaku utama dalam proses meletakan pondasi baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Amien Rais kemudian menjabat Ketua MPR, Gus Dur terpilih menjadi Presiden dan Cak Nur sebagai tokoh independent menyerukan pentingnya oposisi-loyal. Tidak hanya demikian, Amien Rais dan Cak Nur ikut berkompetisi untuk memenangkan kursi kepresidenan. Meski Cak Nur gagal dalam tahap pencalonan, dan Amien kalah dalam pemilihan.
Tentu saja, sebagai manusia mereka tidak sempurna. Namun dilihat dari perannya dalam meningkatkan kualitas parlemen dalam mewujudkan cita-cita keadilan sosial yang ideal, saham mereka sangat berarti. Kekritisan mereka sebagai seorang cendikiawan tidak berkurang karena posisinya sebagai anggota parlemen. Dan juga peran mereka sebagai politisi tidak pernah terhenti meskipun di luar partai. Dalam posisi apapun mereka dengan otensitas yang dimilikinya, sebagaimana diakui publik, adalah manusia yang menjalankan fungsi kecendikiawanan.
Tantangan Demokrasi
Demokrasi sebagaimana disuarakan para cendikiawan, adalah sebuah sistem yang memiliki sedikit keburukan daripada sistem lainnya. Meskipun demikian, demokrasi bukanlah barang jadi. Tumbangnya sebuah rezim otoriter hanyalah perubahan kondisi dalam bentuk kebebasan dari sebuah pemasungan (freedom from). Tugas para cendikiawan dalam era reformasi kini adalah mengisi kebebasan untuk membangun (freedom for) cita-cita sosialnya.
Mewujudkan keadilan sosial dalam era paska kejatuhan rezim otoriter tidaklah semudah bagaimana membalik telapak tangan. Demokrasi yang dihasilkan melalui reformasi telah memberikan ruang bagi tersalurkannya berbagai gagasan bagaimana keadilan sosial bangsa ini dicapai. Namun, pada sisi lain kebijakan yang ditetapkan sangat kurang dalam memberikan hasil yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan jaman. Sedikit kegagalan dari sistem demokrasi merupakan kenyataan yang tak bisa dihindarkan. Namun, kegagalan yang melebihi keberhasilan dari kebijakan yang diciptakan, menunjukan bahwa aspirasi kebangsaan dari publik dewasa ini belum terserap menjadi rule of the game dalam berdemokrasi. Untuk mencapai kesejatiannya, kritik dan perjuangan untuk perbaikan sistim demokrasi senantiasa sangat diperlukan, sehingga jalan terbaik menuju keadilan sosial menjadi mudah untuk dicapai.
Dorongan untuk memperbaiki sistem demokrasi kini muncul dalam bentuk usulan amandemen konstitusi ke-5. Bertujuan memperkuat posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan memberikan pemilikan hak suara dalam menetapkan kebijakan politik bersama DPR. Deni Indrayana pakar hukum dari UGM mengemukakan pentingnya amandemen tersebut. Bahwa secara konstitusi, dominasi partai politik telah melahirkan kekuasaan oligarki (Republika 3/2/2007). Tentu saja hal ini akan menimbulkan masalah dimana politik negara sangat tergantung pada partai. Untuk menempatkan seseorang dalam jabatan strategis di lembaga negara tidak dimungkinkan melalui mekanisme lain selain lewat pintu partai. Tidak hanya dalam memilih presiden dan wakilnya serta anggota legislatif, untuk menyaring calon anggota yudikatif seperti Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun melalui mekanisme “politicking” di tingkat parlemen yang merupakan wadah partai. Bahkan tangan-tangan politik ikut campur dalam pembentukan kabinet yang hakikatnya merupakan hak prerogratif presiden. Dimana kalau semua kekuasaan negara harus melalui pintu partai, ini berbahaya.
Argumen Deni diatas, setidaknya menyiratkan bahwa tuntutan amandemen ke-5, perlu diikuti dengan amandemen lainnya. Dimana kesetaraan posisi eksekutif dan yudikatif masih perlu ditegakkan berhadapan dengan kekuatan politik legislatif. Munculnya dominasi legislatif terhadap kedua lembaga lainnya saat ini perlu dianggap sebagai proses transisi yang mencerminkan respon politik terhadap kenyataan sebelumnya dimana eksekutif cenderung dominan. Pelajaran yang perlu disadari bahwa dominasi dari suatu kekuasaan, selalu mengarah pada kecenderungan terjadinya penyelewengan aspirasi publik. Dengan demikian, mengacuhkan dominasi legislatif-oligarkis yang kini sedang berlangsung adalah menunggu prahara baru yang sangat tidak kita harapkan.
Nampaknya, perjuangan dan penegakan demokrasi harus terus diupayakan. Keadilan sosial sebagai cita-cita kolektif bangsa tidak akan tercapai, bila kekuasaan berada dalam dominasi segelintir manusia. Kekuasaan oligarkis dengan kendali para medioker tidak dapat menjadi tumpuan untuk terjadinya kemajuan. Demokrasi harus diperjuangkan agar kebebasan sebagai hak warga negara dapat tersalurkan sehingga kebijakan negara berdasar pada kebenaran. Di sisi lain, demokrasi harus ditegakan agar pencapaian keadilan sosial sebagai kewajiban negara sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan warganya.
Politik dan cendikiawan merupakan sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pemikiran kritis cendikiawan merupakan daya pikat dukungan publik dalam melaksanakan tugas perjuangan politik sebuah partai. Partai politik sebagai media perjuangan tidak memiliki makna pencapaian keadilan sosial tanpa pemikiran kritis kreasi para cendikiawan. Cendikiawan selalu lebih besar dari tatanan politik (dan kapital) yang cenderung mengerdilkannya. Karena itu, ia selalu terdepan dalam penciptaan gagasan perubahan yang diiringi dengan tindakan politiknya. Diikuti kesadaran publik untuk berpartisipasi dalam mendukung gagasan untuk sebuah perubahan.
Keberadaan kaum cendekiawan, mungkin tidak akan memunculkan pandangan ironis, bila para cendikiawan secara berani dan terbuka menampakkan otensitas gagasannya untuk memperjuangkan dan menegakan demokrasi. Sejarah membuktikan bahwa cendikiawan yang memiliki gagasan otentik selalu menjadi figur publik sebagai pembawa perubahan. Dan dari otensitas gagasan individu cendikiawanlah, biasanya tatanan politik sebuah bangsa dibangun. Tidakkah Bangsa ini dibangun hanya oleh dua orang founding fathers, Hatta sebagai peletak pondasi keadilan sosial dan Soekarno sebagai pembentuk identitas kebangsaan ? Lalu akankah hadir cendikiawan pencipta demokrasi unik ke-indonesiaan ?
0000oo0oo0000
__________________________
Relasi cendikiawan dan politik kini, menarik untuk diamati. Tidak sedikit pandangan yang menyiratkan, bahwa carut-marutnya politik ekonomi dewasa ini diakibatkan dari terjadinya krisis dukungan publik terhadap cendikiawan. Dan pada saat bersamaan panggung politik kini tengah didominasi kaum medioker.
Pandangan yang mengemuka itu, sekurangnya telah memberikan gambaran ironis dilihat dari karakter cendikiawan sebagai agen perubahan. Pertama, gagasan atau ideologi yang menjadi kekuatan dan daya pikat dari cendikiawan tidak lagi jadi tumpuan untuk memenangkan kompetisi meraih kursi parlemen di era yang kini demokratis. Dimana kapital tengah menggantikan gagasan dalam bargaining kursi kekuasaan. Kedua, seorang cendikiawan dalam realitasnya dipandang tidak memiliki keberanian untuk mengambil resiko dalam menyatakan kebenaran yang menjadi fungsi politiknya. Para cendikiawan lebih menekankan kelanggengan hubungan dengan partai-partai daripada memberikan kritik untuk menciptakan perubahan yang berarti. Dimana partai politik menjadi penentu gagasan yang disuarakan seorang cendekiawan. Ketiga, peminggiran posisi cendikiawan dari panggung politik ini, menyeret kepada timbulnya pemikiran dimana keterlibatan cendikiawan dalam politik dianggap sebagai sebuah keterlibatan dalam konspirasi yang bermakna kotor dan penghianatan.
Keberanian untuk memperjuangkan gagasan merupakan karakter dari seorang cendikiawan. Selain kearifan sebagai orang yang memiliki kedalaman ilmu, wawasan yang luas dan visi ke depan. Di tangan para cendikiawan harapan masyarakat digantungkan. Cendikiawan dan pendukungnya bersama-sama memperjuangkan bagaimana sebuah gagasan diwujudkan, yaitu berupa perubahan dari kondisi tertindas menjadi sebuah bangsa yang bebas, adil dan bermartabat. Dalam konteks ini, ironisme relasi cendikiawan dan politik dari pandangan yang mengemuka menimbulkan tanda tanya, masih adakah cendikiawan di negeri ini ?
Figur Cendikiawan
Secara historis, keterlibatan dalam partai politik bagi cendikiawan di Indonesia bukanlah pilihan yang dianggap kotor dan bentuk penghianatan. Professor Husseyn Alatas seorang sosiolog dari Malaysia mengungkapkan bahwa Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Syafrudin Prawiranegara adalah para cendikiawan yang berada di garis terdepan dari masing-masing partai politiknya dalam memperjuangkan ideologi. Keunggulan gagasan mereka, meskipun kini bisa jadi tidak relevan, masih diminati sebagai sumber kajian dan menjadi inspirasi dalam upaya mewujudkan sebuah bangsa demokratis dan sejahtera.
Tentu saja, bukan hanya keunggulan dari gagasannya saja sehingga mereka menjadi pemimpin partai, akan tetapi juga adalah keberaniannya untuk melawan penindasan. Integritas mereka dalam mewujudkan gagasan keadilan sosial yang dianutnya menjadi teladan publik dan didukung dengan sukarela. Pendek kata, relasi cendikiawan dan politik bukan relasi yang terpisah, berbeda dan berlawanan. Melainkan, karena strategisnya kursi parlemen maka para cendikiawan berupaya dengan segala kreasinya untuk meraihnya.
Orde baru sebagai rezim repressif-otoriter yang membatasi kebebasan, bukan alasan yang kuat bagi para cendikiawan untuk membatasi diri dalam memperjuangkan misi gagasannya. Parlemen dikebiri menjadi sub-ordinat dari kekuasaan rezim. Pemilu sebagai ciri dari negara demokratis hanya dilaksanakan kulit luarnya saja. Betapapun parlemen terkooptasi, tidak mengurangi anggapan akan pentingnya kaum cendikiawan untuk meraih kursi di lembaga legislatif ini. Tidak kurang cendikiawan seperti Cak Nur (HMI) dan Gus Dur (NU) yang mendapat julukan “Guru Bangsa” pernah menjadi anggota parlemen.
Meskipun keterkaitan cendikiawan dan parlemen di Indonesia sangat erat, namun demikian, sejarah menukilkan bahwa parlemen bukan jalan satu-satunya untuk menciptakan perubahan. Amien Rais melalui organisasi Muhammadiyah yang dipimpinnya menyuarakan pentingnya rezim Soeharto mundur. Melalui jalur ekstra parlemen ia tanpa lelah menggaungkan kritik terbuka terhadap otoriterisme rezim. Hingga kemudian momentum reformasi tiba diiringi dengan mundurnya Soeharto. Rupanya Amien Rais harus melakukan “Ijtihad Politik” untuk membangun sebuah partai demi mewujudkan agenda reformasi.
Dalam era reformasi, ketiga figur cendikiawan Cak Nur, Gus Dur dan Amien Rais di atas, telah menjadi pelaku utama dalam proses meletakan pondasi baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Amien Rais kemudian menjabat Ketua MPR, Gus Dur terpilih menjadi Presiden dan Cak Nur sebagai tokoh independent menyerukan pentingnya oposisi-loyal. Tidak hanya demikian, Amien Rais dan Cak Nur ikut berkompetisi untuk memenangkan kursi kepresidenan. Meski Cak Nur gagal dalam tahap pencalonan, dan Amien kalah dalam pemilihan.
Tentu saja, sebagai manusia mereka tidak sempurna. Namun dilihat dari perannya dalam meningkatkan kualitas parlemen dalam mewujudkan cita-cita keadilan sosial yang ideal, saham mereka sangat berarti. Kekritisan mereka sebagai seorang cendikiawan tidak berkurang karena posisinya sebagai anggota parlemen. Dan juga peran mereka sebagai politisi tidak pernah terhenti meskipun di luar partai. Dalam posisi apapun mereka dengan otensitas yang dimilikinya, sebagaimana diakui publik, adalah manusia yang menjalankan fungsi kecendikiawanan.
Tantangan Demokrasi
Demokrasi sebagaimana disuarakan para cendikiawan, adalah sebuah sistem yang memiliki sedikit keburukan daripada sistem lainnya. Meskipun demikian, demokrasi bukanlah barang jadi. Tumbangnya sebuah rezim otoriter hanyalah perubahan kondisi dalam bentuk kebebasan dari sebuah pemasungan (freedom from). Tugas para cendikiawan dalam era reformasi kini adalah mengisi kebebasan untuk membangun (freedom for) cita-cita sosialnya.
Mewujudkan keadilan sosial dalam era paska kejatuhan rezim otoriter tidaklah semudah bagaimana membalik telapak tangan. Demokrasi yang dihasilkan melalui reformasi telah memberikan ruang bagi tersalurkannya berbagai gagasan bagaimana keadilan sosial bangsa ini dicapai. Namun, pada sisi lain kebijakan yang ditetapkan sangat kurang dalam memberikan hasil yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan jaman. Sedikit kegagalan dari sistem demokrasi merupakan kenyataan yang tak bisa dihindarkan. Namun, kegagalan yang melebihi keberhasilan dari kebijakan yang diciptakan, menunjukan bahwa aspirasi kebangsaan dari publik dewasa ini belum terserap menjadi rule of the game dalam berdemokrasi. Untuk mencapai kesejatiannya, kritik dan perjuangan untuk perbaikan sistim demokrasi senantiasa sangat diperlukan, sehingga jalan terbaik menuju keadilan sosial menjadi mudah untuk dicapai.
Dorongan untuk memperbaiki sistem demokrasi kini muncul dalam bentuk usulan amandemen konstitusi ke-5. Bertujuan memperkuat posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan memberikan pemilikan hak suara dalam menetapkan kebijakan politik bersama DPR. Deni Indrayana pakar hukum dari UGM mengemukakan pentingnya amandemen tersebut. Bahwa secara konstitusi, dominasi partai politik telah melahirkan kekuasaan oligarki (Republika 3/2/2007). Tentu saja hal ini akan menimbulkan masalah dimana politik negara sangat tergantung pada partai. Untuk menempatkan seseorang dalam jabatan strategis di lembaga negara tidak dimungkinkan melalui mekanisme lain selain lewat pintu partai. Tidak hanya dalam memilih presiden dan wakilnya serta anggota legislatif, untuk menyaring calon anggota yudikatif seperti Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun melalui mekanisme “politicking” di tingkat parlemen yang merupakan wadah partai. Bahkan tangan-tangan politik ikut campur dalam pembentukan kabinet yang hakikatnya merupakan hak prerogratif presiden. Dimana kalau semua kekuasaan negara harus melalui pintu partai, ini berbahaya.
Argumen Deni diatas, setidaknya menyiratkan bahwa tuntutan amandemen ke-5, perlu diikuti dengan amandemen lainnya. Dimana kesetaraan posisi eksekutif dan yudikatif masih perlu ditegakkan berhadapan dengan kekuatan politik legislatif. Munculnya dominasi legislatif terhadap kedua lembaga lainnya saat ini perlu dianggap sebagai proses transisi yang mencerminkan respon politik terhadap kenyataan sebelumnya dimana eksekutif cenderung dominan. Pelajaran yang perlu disadari bahwa dominasi dari suatu kekuasaan, selalu mengarah pada kecenderungan terjadinya penyelewengan aspirasi publik. Dengan demikian, mengacuhkan dominasi legislatif-oligarkis yang kini sedang berlangsung adalah menunggu prahara baru yang sangat tidak kita harapkan.
Nampaknya, perjuangan dan penegakan demokrasi harus terus diupayakan. Keadilan sosial sebagai cita-cita kolektif bangsa tidak akan tercapai, bila kekuasaan berada dalam dominasi segelintir manusia. Kekuasaan oligarkis dengan kendali para medioker tidak dapat menjadi tumpuan untuk terjadinya kemajuan. Demokrasi harus diperjuangkan agar kebebasan sebagai hak warga negara dapat tersalurkan sehingga kebijakan negara berdasar pada kebenaran. Di sisi lain, demokrasi harus ditegakan agar pencapaian keadilan sosial sebagai kewajiban negara sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan warganya.
Politik dan cendikiawan merupakan sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pemikiran kritis cendikiawan merupakan daya pikat dukungan publik dalam melaksanakan tugas perjuangan politik sebuah partai. Partai politik sebagai media perjuangan tidak memiliki makna pencapaian keadilan sosial tanpa pemikiran kritis kreasi para cendikiawan. Cendikiawan selalu lebih besar dari tatanan politik (dan kapital) yang cenderung mengerdilkannya. Karena itu, ia selalu terdepan dalam penciptaan gagasan perubahan yang diiringi dengan tindakan politiknya. Diikuti kesadaran publik untuk berpartisipasi dalam mendukung gagasan untuk sebuah perubahan.
Keberadaan kaum cendekiawan, mungkin tidak akan memunculkan pandangan ironis, bila para cendikiawan secara berani dan terbuka menampakkan otensitas gagasannya untuk memperjuangkan dan menegakan demokrasi. Sejarah membuktikan bahwa cendikiawan yang memiliki gagasan otentik selalu menjadi figur publik sebagai pembawa perubahan. Dan dari otensitas gagasan individu cendikiawanlah, biasanya tatanan politik sebuah bangsa dibangun. Tidakkah Bangsa ini dibangun hanya oleh dua orang founding fathers, Hatta sebagai peletak pondasi keadilan sosial dan Soekarno sebagai pembentuk identitas kebangsaan ? Lalu akankah hadir cendikiawan pencipta demokrasi unik ke-indonesiaan ?
0000oo0oo0000