Jumat, 19 Februari 2010

IMAJI TENTANG INDONESIA

Oleh : Iwan Gunawan
__________________________

Maraknya korupsi sampai dengan korban TKI. Dimana di dalamnya terkait dengan birokrasi, ekonomi rakyat, kerusakan ekologi, kemiskinan, pengangguran, pemilu dan kemampuan pemerintah untuk menjadi pemerintahan yang bersih, termasuk juga otonomi daerah. Merupakan cermin dari kualitas imajinasi rakyat dari bangsa-negara mengenai Indonesia yang sedang dihuninya.

Mengapa negara kita mengalami perkembangan yang sangat lamban dalam memajukan kehidupan kesejahteraan rakyatnya, khususnya sejak reformasi terjadi ? Pada satu sisi, dirasakan bahwa usia reformasi yang digulirkan sejak tahun 1999 (sepuluh tahun) itu memang bukan waktu yang panjang untuk menata kembali bangsa yang besar ini. Namun, pada sisi lain tidak sedikit negara yang memperoleh stabilitas dalam waktu yang singkat itu. Karenanya, kita perlu untuk memahami kembali realita apa yang membuat hal ini terjadi ? Padahal struktur politik kita telah mengalami perubahan dari otoriter (birokrasi dan militer) ke arah demokrasi.

Pertanyaan kemudian timbul. Mengapa demokrasi kita tidak memunculkan suatu peningkatan kebebasan relatif dimana setiap orang dapat mengambil manfaat dari sistem ini ? Hanya sebagian orang saja yang mendapat manfaat itu, khususnya adalah dalam kehidupan politik. Dimana sifat demokrasi selalu dilandasi oleh tumbuhnya ruang kebebasan mutlak yang lebih besar dari sebelumnya. Masing-masing orang kini telah memiliki kebebasan apapun untuk meraih apa yang diinginkan (want). Ini jelas merupakan perkembangan yang positif, dimana pada era otoriter harus diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan jiwa. Sehingga sering kini terdengar pandangan bahwa demokrasi sudah berjalan di dalam relnya. Namun, pada sisi lain kita menyaksikan banyak manusia tidak berdaya menghadapi situasi yang bebas ini. Pengangguran, kemiskinan, kelaparan dan sekaligus juga kebodohan.

Memang dikatakan bahwa demokrasi bukanlah sistem yang terbaik akan tetapi ia adalah sistem yang paling sedikit keburukannya. Sebagai keunggulan dari demokrasi yang mengakui adanya kontrol dari rakyat. Dengan pengakuan terhadap kontrol itulah maka rakyat dan kekuatannya bisa memperoleh kebebasan menyatakan berbagai aspirasinya. Sehingga kebijakan yang buruk bisa dicabut atau dihindari. Namun demikian, justru sekarang kita menemukan bahwa mungkin bisa jadi kebijakan yang lahir dewasa ini lebih baik dari masa otoriter. Akan tetapi dalam prakteknya ternyata tidak sanggup menjawab masalah dan tantangan yang sedang dihadapi bangsa ini.

Sebagaimana telah dikatakan diatas bahwa keburukan yang dialami rakyat semakin tampil nyata dalam kehidupan bangsa ini. Hal yang telah menimbulkan banyak guratan kefrustasian. Salah satu contohnya adalah pandangan, yang garis besarnya cenderung melihat bahwa telah banyak pembicaraan untuk mengatasi berbagai keburukan tapi ternyata keburukan terus berlangsung bahkan semakin marak. Sehingga kajian atau pembahasan dalam upaya mengatasinya dianggap hanyalah wacana. Pada sisi lain, juga tercermin adanya sikap ketidakpercayaan terhadap figur-figur moralis. Padaha idealnya mereka pandai menempatkan diri menjadi panutan yang diharapkan rakyat untuk tidak ikut arus dalam perilaku yang buruk. Sehingga kemudian tampak, bahwa ternyata kebebasan mutlak yang telah diraih melalui demokrasi, belum diiringi oleh kebebasan relatif dimana setiap orang dapat meraih manfaat untuk perbaikan nasib dan kehidupannya. Atau sekurang-kurangnya rakyat memiliki harapan dimana masalah yang dihadapi dapat dipecahkan.

Kebebasan mutlak yang belum terkendali itu, kini telah menimbulkan akibat bahwa orang-orang yang memiliki keunggulan banyak uang dapat mengambil manfaat demokrasi dengan menggunakan orang-orang yang kebebasan relatifnya sangat lemah. Secara politik, ditandai oleh biaya dalam kehidupan demokrasi yang sangat besar. Setidaknya bapak Nanat Fatah Natsir (Rektor UIN Sunan Gunung Jati - Bandung) pernah menyampaikan, bahwa biaya untuk mencalonkan diri dalam pilkada kabupaten/kota telah mencapai kisaran 7,5 – 15 Milyar. Andaikan gaji dari Bupati/walikota sebesar 50 juta. Bisa dibayangkan 12 x 5 x 50 juta yang besarnya hanya mencapai 3 milyar. Walhasil pemimpin yang terpilih akan nombok untuk membayar biaya kompetisi pemilunya. Tentu saja ini kemungkinan besar bukanlah uang pribadi tetapi uang dari para pendukungnya, yang bila kemenangannya teraih harus dikembalikan dengan kompensasi yang lain, yaitu bisa jadi kebijakan (kong kali kong).

Dari sinilah kemudian kita bisa mendapat gambaran mengapa setiap bupati/walikota terpilih sering terlibat dalam perilaku korup. Dan tuduhan korupsi terhadap pemimpin kemudian mengganggu stabilitas kepemimpinannya. Perhatian untuk memberikan pelayanan kepada publik menjadi melemah. Dan jelas bahwa berbagai keburukan timbul sehingga rakyat mengalami kesengsaraan. Kenyataan ini perlu menjadi bahan pertimbangan ke depan. Bahwa banyak persoalan terkait erat dengan realitas demokrasi yang tidak stabil dengan melahirkan banyak keburukan.

Masalahnya kemudian, adalah bagaimana menciptakan stabilitas dalam kehidupan berdemokrasi ? Terus terang bangsa kita masih belum menemukan pandangan yang utuh tentang demokrasi. Akan tetapi uraian di atas merupakan realita yang penting dipecahkan. Sampai kini, kita tidak habis pikir mengapa banyak orang begitu ambisius untuk merebut posisi jabatan kepemimpinan melalui cara-cara “primitif” dengan mengabaikan resiko yang akan terjadi kemudian ? Resiko itu bukan hanya bersifat pribadi akan tetapi juga berakibat pada terbengkalainya tugas publik yang harus dijalankannya sebagai pemimpin. Kenyataan lain menunjukan bahwa para pemenangnya adalah orang yang sering dikatakan sebagai orang yang didukung oleh pemilikan dana yang kuat. Dengan demikian, tumbuh arus publik untuk memilih orang-orang yang berpemilikan dana besar daripada gagasan-gagasan yang mencerminkan tuntutan dan kebutuhan yang perlu dipenuhinya. Dari sinilah keprihatinan muncul, bahwa demokrasi yang terjadi harus diperbaiki. Pertanyaannya, darimana kita memulainya ?

Sudah sangat jelas bahwa persoalan ini harus dipecahkan. Namun caranya tidak akan selalu sejalan dengan idealitas yang kita pikirkan. Dimana kita sadar bahwa dalam demokrasi bukan kita sendiri yang menentukan. Akan tetapi berbagai penemuan solusi yang didapatkan bisa jadi merupakan bagian kebenaran yang perlu diperjuangkan untuk dimanifestasikan. Upaya pencapaian dari ideal kita, mungkin hanya tercapai sangat sedikit. Tapi itu bisa jadi justru dapat menjadi investasi yang sangat berguna untuk terus memperbaiki kehidupan demokrasi.

Dengan demikian, kita berharap bahwa melalui perdebatan publik akan membawa kita pada arah perubahan demokrasi yang paling sedikit memiliki keburukan. Dengan cara memecahkan keburukan yang banyak yang diakibatkan demokrasi. Pencarian pemecahan terhadap berbagai persoalan publik perlu terus diupayakan. Karena sangat diperlukan demi menciptakan kebebasan relatif rakyat yang semakin menganga. Sehingga kemudian demokrasi yang diharapkan dapat tercapai. Pada sisi lain juga, karena perubahan terhadap perbaikan demokrasi di negara kita memerlukan waktu yang panjang. Maka kita perlu mendorong perubahan-perubahan itu dengan cara menempatkan realita demokrasi kini sebagai bagian dari upaya pemecahan masalah-masalah itu.

Perlu pula diketengahkan, pandangan Amien Rais pada tahun-tahun 1990-an mengenai demokrasi. Ia menyatakan bila kita baru dapatkan demokrasi 50%, maka kita harus berjuang agar menjadi 60%, dst sampai dengan 100%. Dan ternyata memang Amien dapat menduduki kursi MPR dengan perjuangannya itu. Namun, juga demokrasi yang diperjuangkan baru sebatas pada adanya perlindungan terhadap kebebasan mutlak (kemanusiaan), dengan kebebasan relatif yang masih rendah. Karena itu kini diperlukan pada upaya-upaya untuk menciptakan persamaan-persamaan diantara warga negara kita, baik ekonomi maupun pandangan politik. Sehingga demokrasi tidak berjalan secara liar namun selalu berpijak pada etika. Persamaan tentu saja berbeda dengan kesamaan, akan tetapi merupakan bentuk persamaan relatif. Agar tidak terhindar dari suatu pemanfaatan terhadap orang-orang lemah oleh orang-orang kuat di dalam demokrasi.

Jadi, mungkin pengaturan pemilu perlu dilihat dari perspektif mengenai adanya kenyataan bahwa persamaan relatif diantara warga masih sangat rendah itu. Persamaan relatif ini salahsatunya bisa diartikan adanya persamaan kepentingan melalui suatu dialog yang intens antara para calon pemimpin dengan rakyat. Kampanye yang dilakukan melalui mobilisasi massa tidak memberikan makna yang signifikan bagi proses demokratisasi karena hanya mendorong pada komunikasi yang satu arah.
Tapi juga mengapa harus dua arah ? Sebabnya adalah penawaran dari para pemimpin mengenai agenda politik yang menjadi misinya masih jauh dari harapan rakyat. Partai politik sebagai media komunikasi rakyat dengan pemimpin masih belum berjalan secara efektif untuk menyerap aspirasi permintaan rakyat dengan obyektif.

Sistim yang berlangsung dewasa ini, bisa dipandang masih dalam tahap pra-demokrasi. Dimana kebebasan relatif rakyat belum nyata tampil dalam kehidupan demokrasi. Dimana rakyat dapat “membunyikan”, mengatakan atau mengartikulasikan kebutuhannya yang menjadi dasar sikapnya. Dengan cara itulah akan terjadi saling mengenal (ta’aruf) antara pemimpin yang menawarkan jasa kepemimpinan dengan rakyat yang menyampaikan permintaan kebutuhan. Melalui ta’aruf ini maka timbulah tafahum dimana rakyat dan pemimpin saling memahami. Pada satu sisi rakyat mengetahui kapasitas pemimpin melalui agenda yang ditawarkan sebagai kesanggupannya. Dan pemimpin memahami permintaan rakyat yang sesungguhnya. Dengan itulah akan terjadi saling tolong menolong (tafahum), karena agenda yang dilakukan pemimpin adalah agenda rakyat.

Persoalannya, kini seringkali terjadi tolong menolong itu melalui proses pengenalan dan pemahaman diantara rakyat dan pemimpin yang bersifat instan. Akibatnya seringkali terjadi penghianatan diantara kedua belah pihak. Bentuk antagonisme ini telah menciptakan banyak keresahan. Suatu gejala demokrasi yang janggal, dimana imaji mengenai bangsa dan negara antara rakyat dan penguasa lebih banyak pertentangan daripada persamaan. Dari sudut ini pula persoalan demokrasi kita menampakkan gejalanya. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar