Jumat, 19 Februari 2010

Visi Kultural untuk Menegakan Demokrasi Kebangsaan

Oleh : Iwan Gunawan

Pendahuluan.
Peradaban merupakan puncak kemajuan kehidupan suatu bangsa yang tertinggi. Melalui kemajuan peradaban, sebuah bangsa menjangkau luasnya hamparan semesta; menyelami kedalaman hakikat kehadiran manusia di bumi; bersinar terang di atas yang lainnya; mengembangkan mata rantai peradaban dunia; dan menjadi kiblat penuntun hidup umat manusia. Bersumber dari identitas keyakinan yang dipeluk dengan kuat oleh para warga. Menjadi dasar pergaulan serta kerjasama dalam hidup dengan sesama.

Peradaban merupakan buah dari kreasi manusia yang dimotivasi untuk patuh dan setia (fanatik) mewujudkan kecenderungan pada kebenaran, kebaikan dan keindahan . Terpancar dari gerak tubuh (amal perbuatan), rumusan pikiran hingga ungkapan spiritual. Menghasilkan jangkar bagi kesatuan budaya yang utuh dan terukir menjadi tangga yang kokoh untuk meningkatkan derajat kehidupan bagi kolektivitas masyarakat. Dicapai oleh rakyat yang berada dalam kondisi bebas untuk menentukan pilihan dalam mengamalkan nilai-nilai yang menjadi dasar hidup . Didukung oleh cita rasa akan kemerdekaan yang terwujud dalam bentuk negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat (demokrasi).
***
Demokrasi dan Peradaban.
Terlaksananya kedaulatan rakyat penting ditopang melalui kehidupan warga yang saling mencintai, memiliki dorongan berkorban yang tinggi serta rasa persaudaraan yang mendalam (identitas kolektif). Terwujud dari kepribadian yang terbuka dan sanggup bertukar pikiran (dialog, musyawarah) untuk mendapatkan titik temu dari perbedaan dan menguatkan persamaan (Common Ground). Karenanya budaya masyarakat yang berperadaban hanya dapat dicapai, dieratkan dan diikatkan melalui sifat-sifat manusiawi, saling mencintai dan rela berkorban serta bersama-sama memelihara persaudaraan. Dimana setiap warga menempatkan hak azasi dari kemanusiaan sebagai pemilikan yang berharga baik bagi pribadi maupun sesamanya.

Secara keseluruhan sifat-sifat tersebut akan memberikan kebahagiaan bagi para pribadi warganya. Sifat-sifat yang mencerminkan kesanggupan memperluas pergaulan dan mempererat kerjasama yang memberikan peningkatan martabat kemanusiaan. Menjadi landasan sikap positif dan optimis terhadap perbedaan dengan menerimanya sebagai kenyataan. Dan menghargainya sebagai sumber kreasi bagi kehidupan yang lebih beradab.

Atas dasar itu, maka pendidikan menjadi hal utama dalam upaya menegakkan kehidupan berbangsa . Sebab, tanpa adanya pendidikan, perkembangan zaman menjadi stagnan (mandeg), disebabkan tiadanya manusia kreatif yang memiliki kesanggupan untuk memberikan respon dan pemecahan atas berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi; tiadanya para pelanjut tujuan hidup kolektif untuk memajukan kehidupan masyarakat; berkembangnya kecenderungan pribadi untuk mengedepankan kepentingan sempit dan picik. Tanpa adanya pendidikan, nilai-nilai pergaulan dan kerjasama yang menjadi dasar interaksi antar manusia menjadi luntur yang dapat mengakibatkan timbulnya banyak kejahatan dan kekacauan .

Puncak peradaban suatu bangsa terwujud dalam bentuk-bentuk visual yang indah. Hasil daya cipta dan ekspresi nurani dari dorongan kemanusiaan. Buah dari kesadaran para individu di dalam masyarakat dengan cita-rasa pribadi yang bukan hanya mementingkan kepastian ukuran dan hitungan akan tetapi lebih dari itu didasarkan pada imajinasi ke depan. Dengan demikian, bangsa yang berperadaban tidak hanya menyelami sejarah masa lalunya; dan memahami hasil-hasil yang telah dicapainya; namun juga memiliki pandangan yang jauh menembus ke depan, bagi kehidupan bangsanya. Punahnya peninggalan peradaban masa lalu dari sebuah bangsa, mencerminkan dari tidak tumbuhnya imajinasi para pewaris akan pentingnya pelestarian hasil-hasil peradaban sebagai khazanah inspirasi bagi kemajuan kolektif ke depan.

Masyarakat, budaya dan peradaban merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Partisipasi masyarakat merupakan sumber bagi terbentuknya nilai hidup bersama. Menjadi rangkaian budaya sebagai tangga masyarakat untuk mencapai puncak peradaban. Membentuk suatu bangsa dan negara (nation-state) yang merupakan kelanjutan dan sekaligus wadah perkembangan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakatnya. Oleh karena itu peradaban merupakan penanda dari prestasi kemanusiaan kolektif. Sebagai usaha menuju kesejahteraan hidup (adil-makmur) warga negara yang berakar kuat pada budayanya. Hasil dari inisiatif para pribadi warga yang hak azasinya terlindungi dalam sebuah negara yang mengakui kedaulatan rakyat dan menerapkannya secara nyata (bukan demokrasi semu).
***
Nomokrasi dan Kerakyatan.
Negara merupakan bentuk terpenting dari suatu bangsa. Terdiri dari masyarakat (rakyat), pemerintahan dan hukum. Masyarakat berkewajiban mengamalkan nilai-nilai azasi dan berhak atas terpenuhinya tuntutan dasar; Pemerintah berkewajiban memenuhi tuntutan dasar rakyat dan berhak menjalankan kekuasaan; Dilandasi oleh hukum (nomokrasi) yang mengatur keseimbangan hak dan kewajiban diantara pemerintah dan rakyat yang bersumber pada nilai-nilai azasi dan selaras dengan tuntutan dasar rakyat (konstitusi). Hukum ditegakan untuk memberikan keadilan dan mencapai kemakmuran bagi rakyatnya.

Pemenuhan tuntutan dasar rakyat dilaksanakan pemerintah sesuai dengan perencanaan; pengamalan nilai-nilai azasi dilakukan masyarakat sesuai dengan aturan-aturan (regulasi). Rakyat berhak dan berkewajiban melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan (oposisi). Perencanaan adalah sejumlah rencana yang terbentuk melalui proses kesepakatan seluruh rakyat, berpijak pada nilai- nilai azasi dan tuntutan dasar rakyat (Propenas). Peraturan ditetapkan pemerintah secra bijaksaVa untuk menjalankan kekuasaan amanah perencanaan. Diikuti tindakan konsisten pemerintah sebagai upaya agar perencanaan dan peraturan dapat dilaksanakan (implementasi).

Proses perencanaan yang benar akan memberikan kebahagiaan pada rakyat, sehingga rakyat patuh dalam pelaksanaannya. Dan proses yang menyimpang mengakibatkan rakyat sengsara sehingga rakyat memberikan penolakan. Peraturan-peraturan yang baik membuat rakyat aman dan terlindungi sehingga rakyat menjaga ketertiban. Peraturan-peraturan yang buruk menimbulkan keresahan, sehingga rakyat melanggarnya. Dan tindakan-tindakan aparat pemerintah yang santun teladan dapat menjadikan rakyat senang sehingga rakyat menghormatinya. Tindakan-tindakan aparat pemerintah yang angkuh bejad menimbulkan kebencian sehingga rakyat menentangnya .

Dengan demikian, tuntutan dasar rakyat dapat tercapai dan nilai-nilai azasi bisa terwujud, melalui tegaknya perencanaan yang benar, berlakunya peraturan yang baik dan terlaksananya tindakan oleh aparat dengan cara yang santun (strategi, taktik dan teknis). Maka dari itu, rasa bahagia, aman dan senang rakyat hanya tercipta dalam kondisi adil ; juga rasa sengsara, gelisah dan benci tercipta ketika penindasan terjadi. Dengan tegaknya keadilan, rakyat merasakan kehidupan yang makmur. Dan melalui penindasan rakyat mengalami kemiskinan yang menjerat.

Masyarakat adil dan makmur tercermin dari adanya sikap toleransi yang tinggi yang menimbulkan kesediaan berkompromi untuk menjalin ikatan persaudaraan bersama sehingga membentuk keutuhan budaya. Masyarakat yang tertindas dan miskin terlihat dari adanya sikap ekstrim yang mengakibatkan suburnya sikap eksklusif dan mengarah pada terputusnya ikatan sosial-budaya. Maka, dalam ikatan warga yang erat, potensi kecerdasan rakyat meningkat menuju kemajuan peradaban; dan dalam jalinan warga yang terpecah potensi kecerdasan rakyat menjadi lemah sehingga kemajuan suatu bangsa mengalami hambatan bahkan kemunduran.
***
Reinventing Governance.
Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang selalu mampu berada dalam posisi yang seimbang dengan rakyatnya. Baik dalam pengertian apresiasi kualitatif (sosial-budaya-agama) maupun aspirasi kuantitatif (politik-ekonomi). Karena itu, sebuah pemerintahan harus terbuka dalam pengertian demokratis. Agar keadilan dan kemakmuran dapat tercapai sejalan dengan tuntutan masyarakatnya (reinventing governance). Dimana kesanggupan pemerintah dalam merespon dinamika masyarakat secara tepat hanya mungkin bisa dilakukan dengan membuka diri terhadap kritik dari masyarakatnya.

Pemerintah yang adil dengan demikian adalah pemerintahan yang ditandai oleh adanya kebijakan yang memberikan ruang bagi aktualisasi rakyat dalam berpartisipasi yang didorong oleh apresiasi sosial-budaya (identitas) dan aspirasi politik-ekonomi. Dan rakyat yang makmur adalah kehidupan yang ditandai dengan adanya pertumbuhan yang disertai pemerataan dan dapat memberikan keseimbangan hidup warganya baik dari segi sosial-budaya maupun ekonomi politiknya.

Untuk mencapai kehidupan adil makmur pemerintah atas apresiasi dan aspirasi rakyat berkewajiban membangun tatanan bagi terciptanya : pemanfaatan kekayaan yang terbatas dan perluasan peluang bagi berkurangnya kemiskinan; terkendalinya kekuasaan dan ruang kebebasan untuk mengontrolnya; diakuinya eksternalisasi perbedaan dan terbukanya ruang bagi berkembangnya internalisasi persamaan; tumbuhnya ikatan pergaulan dan kerjasama yang sehat di dalam masyarakat. Dimana dinamika masyarakat menjadi dasar pertimbangan dalam penentuan kebijakannya.

Dalam pengertian yang luas pemerintah bertugas mendorong dan meningkatkan segala hal positif sekaligus mengikis dan menghapuskan aspek negatif dalam kehidupan warganya. Dimana semua itu hanya mungkin terwujud nyata apabila sejalan dengan identitas kepercayaan pribadi para warganya. Bentuk dari kehendak untuk mencapai cita-cita negara yang menjunjung tinggi hak azasi manusia yang terjamin dari tatanan pemerintahan yang demokratis.

Tugas dari pemerintah dengan demikian adalah meningkatkan kecerdasan dan menghapuskan kebodohan; mendorong gairah kerja dan memberantas kemalasan; memperbesar ruang partisipasi dan memperkecil kecenderungan untuk mobilisasi; mendamaikan pertentangan dan menciptakan kerukunan. Dimana implementasinya dijalankan sebagai suatu keterpaduan dengan pertimbangan rasional-objektif akan kekuatan, kelemahan, hambatan, dan kesempatan untuk menghadapi ancaman dan tantangan bagi tercapainya kemajuan.
***
Visi dan Vitalitas Kebangsaan.
Majunya peradaban bangsa adalah gambaran bahwa nilai- nilai azasi masyarakat sangat kokoh sehingga perlu dilestarikan. Kemunduran peradaban mencerminkan bahwa nilai-nilai azasi bangsa sangat rapuh sehingga perlu pembaruan, perubahan atau pergantian. Dimana nilai-nilai dalam kehidupan bersama sudah tidak memberikan vitalitas dan kekuatan bagi masyarakatnya. Karenanya perlu dilakukan upaya menggali kembali nilai-nilai kebenaran dari sejarah kolektif dalam sebuah bangsa. Selain membandingkan dengan kemajuan bangsa lain untuk menemukan nilai-nilai baru yang dibutuhkan demi membangkitkan vitalitas budaya dan peradaban yang telah dicapai.

Nilai azasi bangsa yang benar (ma’ruf) adalah nilai azasi yang punya manfaat jangka panjang (nilai-nilai yang visioner) bagi pemenuhan tuntutan dasar rakyat untuk menuntun tahapan-tahapan perkembangan masyarakat (Pancasila, sebagai dasar negara). Nilai-nilai azasi yang salah (munkar) adalah nilai-nilai yang tidak memiliki daya dorong bagi tercapainya pemenuhan tuntutan dasar bersama. Dimana nilai-nilai yang salah selalu menjadi penghambat kemajuan (tradisional, jumud) dalam hidup bermasyarakat.

Hancurnya suatu peradaban serta mandegnya (stagnasi) kemajuan suatu masyarakat, dengan demikian memiliki dua kemungkinan, pertama, diakibatkan hukum alam bahwa satu kesatuan dari alam semesta sebagai makhluk Tuhan pasti mengalami kepunahan, kemusnahan dan kematian. Kedua, tingginya suatu peradaban menunjukan kedalaman pribadi warga masyarakatnya dalam meyakini identitasnya. Oleh karena itu, kehancuran suatu bangsa mencerminkan bahwa nilai-nilai azasi yang bersumber dari identitas yang dianut sudah tidak mampu memberikan dorongan (vitalitas) bagi kemajuan bangsanya.

Dengan demikian, kepercayaan yang menghasilkan peradaban akan menjadi sumber nilai bagi kehidupan bangsa-bangsa lain di dunia. Maka puncak peradaban adalah bukti dari kuatnya dorongan pribadi warga masyarakat untuk cenderung kepada kebenaran yang bersumber dari keyakinan identitas. Nilai-nilai yang bersumber dari identitas kepercayaan yang demikian, bersifat universal, berlaku kapan saja, di mana saja dan bagi siapa saja.

Setiap bangsa yang menghendaki kemajuan karenanya penting untuk memiliki sikap terbuka dengan menjadikan nilai-nilai universal sebagai bagian dari nilai-nilai bangsanya. Dari jalinan itulah ikatan nilai bersama antar bangsa terbentuk, berfungsi sebagai kekuatan untuk menghapuskan penindasan dan kemiskinan; kebodohan dan kemalasan; serta kejahatan dan peperangan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
***

Misi Pendidikan.
Kemajuan pembangunan suatu negara akan berkelanjutan apabila pemerintah menjalankan pendidikan secara luas, untuk mempersiapkan dengan serempak dan terencana bagi terwujudnya nilai azasi, sekaligus melaksanakan kewajiban pemenuhan tuntutan dasar rakyat. Pendidikan harus merupakan usaha yang bersistem yang dapat memberikan tuntunan sosial, membina kemampuan teknik administratif dan merangsang kreatifitas; guna mempersiapkan anak-didik hidup di masa paska pendidikan.

Tujuan pendidikan pada dasarnya adalah untuk memberikan kemampuan pada rakyat; akan kesanggupan memimpin dalam arti mempertanggungjawabkan semua tindakan secara pribadi; memiliki i’tikad dan kekuatan bagi tercapainya masyarakat yang terbuka, sadar, damai, mulia dan terhormat. Dengan demikian, pendidikan merupakan bentuk rekayasa budaya untuk menguatkan karakter positif dari masyarakat dan melemahkan karakter negatif demi kehidupan generasi penerusnya.

Bila tujuan negara adalah keadilan dan kemakmuran, maka pendidikan harus berorientasi pada keadilan dan kemakmuran. Pendidikan yang berorientasi pada keadilan adalah pendidikan yang mampu memberikan rangsangan bagi tumbuhnya kesadaran rakyat untuk mampu menjadi pemimpin yang dapat memenuhi tuntutan bagi tegaknya keadilan. Pendidikan yang berorientasi pada kemakmuran adalah pendidikan yang sanggup memberikan stimulasi bagi tumbuhnya kesadaran aktualisasi identitas (agama-etnik) sebagai motivasi bagi peningkatan kesejahteraan material, spiritual, fisik dan mental .

Kepemimpinan dan identitas (agama dan etnik) dengan demikian memiliki hubungan yang erat dalam pencapaian tujuan negara. Karenanya agama dituntut untuk memberikan sumbangan yang bermakna dalam merespon tantangan akan peningkatan derajat kehidupan berbangsa. Sehingga kepemimpinan dalam pencapaian tujuan negara terlaksana sejalan dengan tuntunan kehidupan beragama dan tuntutan obyektif kebutuhan rakyat.

Secara keseluruhan pendidikan yang benar adalah pendidikan yang dapat membentuk dan menguatkan karakter dan kepribadian rakyat secara kolektif untuk menuju bangsa yang adil dan makmur. Dengan demikian misi pendidikan bermakna sebagai proses menanamkan kesadaran akan pemilikan cita-cita dan kekayaan bangsa yang mendorong pada tindakan bagi pemeliharaan dan pencapaiannya. Dimana pergaulan dan kerjasama antar manusia dan bangsa secara nyata harus memberikan kemajuan bagi peningkatan martabat warganya.

Hambatan dari terciptanya keadilan dan kemakmuran yang paling serius adalah kesadaran atau sikap tradisional. Dimana para warga bangsa, baik yang ada di dalam pemerintahan maupun organ masyarakat masih berorientasi pada masa lalu dan tidak memiliki pandangan jauh ke depan. Bentuk akibat dari pendidikan yang terlalu menekankan pewarisan nilai dengan mengabaikan tumbuhnya daya inovasi dan invensi. Suatu daya cipta yang dapat mendorong bagi tercapainya kemajuan secara kolosal menuju kehidupan yang lebih beradab.

Pendidikan dengan demikian, bukan hanya dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-nilai lama yang baik akan tetapi juga ditujukan untuk memiliki kesanggupan menyerap nilai-nilai baru yang lebih baik. Lebih dari itu, pendidikan penting diletakan sebagai wahana transformasi dalam menjalin mata rantai peradaban. Dengan berpijak pada jantung budaya masyarakat yang menjadi vitalitas bagi tercapainya kemajuan. Nilai-nilai agama dan budaya digali sedalam-dalamnya untuk mengukuhkan tonggak bagi tercapainya kehidupan yang semakin beradab.

Pendidikan yang berhasil, tampak nyata dari; Terbinanya warga untuk menghargai hak azasi sesama bagi peningkatan martabat bangsanya; Tercapainya cita-cita melalui pengelolaan kekayaan bangsa yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat (demokrasi) sebagai syarat dari terciptanya pergaulan dan kerjasama yang akan memberikan kemajuan; Dan terbentuknya manusia yang memiliki etos untuk mewariskan prestasi bagi generasi ke depan sebagai bentuk perwujudan etis dalam menghargai dedikasi para pendahulu bangsanya.
***
Penutup.
Demokrasi dan peradaban merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Peradaban hanya mungkin dicapai apabila individu di dalam kolektif bangsa terlindungi hak azasinya. Dan hak azasi hanya mungkin bisa terlindungi apabila para warganya hidup secara beradab. Melalui demokrasi, upaya mencapai kehidupan yang beradab mendapat ruang untuk diperjuangkan. Dan melalui peradaban, kehidupan yang demokratis mendapatkan vitalitas untuk ditegakan.

Pendidikan merupakan hal terpenting bagi pencapaian kemajuan demokrasi dan peradaban suatu bangsa. Perlu dilandasi oleh sikap terbuka untuk menerima kebenaran sebagai dasar bagi pencapaian kemajuan. Sehingga secara integratif, pendidikan selalu terjalin dengan perkembangan jaman. Integratif dalam pengertian adanya hubungan yang reflektif antara ekonomi, politik, budaya dan identitas kepercayaan. Sebagai hasil dari jalinan komunikasi yang dialogis di antara masyarakat dan pemerintah.

Dengan demikian keadilan dan kemakmuran bisa dicapai secara berkelanjutan hanya dengan pembangunan karakter yang berakar pada cita-cita dan kekayaan bangsa. Karakter yang diharapkan untuk sanggup memimpin, bukan hanya untuk melestarikan kekayaan bangsa akan tetapi juga mengelola dan mengembangkannya. Demi memajukan kerjasama ekonomi, kohesivitas politik, solidaritas sosial, dan pergaulan yang berbudaya. Sehingga bisa menjadi jaminan bagi warga dalam upaya memperkokoh eksistensi negara yang demokratis menuju cita-cita bangsa. (Igj/Mar/2008/sdh)


1. Soekarno menandaskan hal ini dalam peringatan Isra Mi’raj 7 Februari 1959. "Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin Mi’raj—kenaikan ke atas—agar kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng, adreng untuk naik ke atas, bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka Bumi (sirna ilang kertaning Bumi). Yudi Latif, “Membesarkan Jiwa Bangsa” Kompas, 16 Agustus 2007. Juga tertulis dalam catatan fathun Karib : "... Kita menyaksikan pembunuhan massal, korupsi, genocida, dan kejahatan lainnya sebagai bagian dari reaksi manusia menyerap cahaya dan memantulkannya dengan warna hitam....jelas kelam...lantas...semua kembali kepada manusia...karena kapasitas memantulkan cahaya dalam spektrum warna merah, biru, kuning, hijau, ungu atau abu-abu dan bahkan hitam ada pada genggaman tangannya....." dan "Peradaban manusia adalah sebuah lukisan yang dicampuradukkan manusia melalui hasil pemantulan-pemantulan cahaya"."Pada Mulanya Cahaya, Manusia dan Mesin Cetak Mitsubishi".
2 UUD 45 BAB XA Mengenai HAK ASASI MANUSIA, Pasal 28I menyatakan : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
3 Pada awal berdirinya, Indonesia pernah menjadi pelopor bangsa modern di Asia dan Afrika. Namun, suasana kejiwaan bangsa Indonesia mengalami pengerdilan. Ini ditandai dengan ditinggalkannya cara berpikir dan bertindak kosmopolitan, menjadi cenderung melihat ke dalam, sehingga status pelopor itu tak bisa dipertahankan, demikian Yudi Latif. Baginya, Budaya kosmopolitan itu terutama dimiliki pendiri Indonesia, seperti Soekarno dan Moh Hatta. Budaya itu mereka dapatkan dari pendidikan Belanda yang terbuka, egaliter, dan menanamkan kedalaman berpikir dengan cara membiasakan seseorang mempelajari berbagai pemikiran dari sumbernya. Ditegaskan Yudi, "Pendidikan harus egaliter, memberikan kedalaman berpikir, dan terjangkau sebagian besar orang. Pendidikan juga harus memerhatikan lokalitas setiap daerah sebab yang akan menang dalam persaingan di masa depan adalah mereka yang dapat mengawinkan potensi lokal dengan nilai universal" . “Kondisi Negara: Indonesia Kini Justru Alami Pengerdilan”, Kompas, 03 September 2007.
4 Tan Malaka menukilkan bahwa maksud pendidikan adalah : a) mendidik para murid menjadi orang-orang yang baik dan bajik; b) orang-orang dengan hati baik dan i’tikad baik; c) dan kekuatan untuk mewujudkan i’tikad baik itu menjadi perbuatan-perbuatan baik; pendidikan akhlaqlah yang menjadi tujuan utama. Selain itu ia menyatakan nilai-nilai pendidikan diantaranya: a) Kesenangan bersatu; b) rasa kasihan terhadap kaum miskin; c) menyatakan keprihatinannya baik dengan perkataan, tulisan dan tindakan; d) pikiran-pikiran menjadi sifatnya.
5 Imam Ali menasihatkan, "Jadikan kesukaanmu yang amat dekat pada segala sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran, paling luas dalam keadilan, dan paling meliputi kepuasan rakyat banyak. Sebab, kemarahan rakyat banyak mampu mengalahkan kepuasan kaum elite. Kemarahan kaum elite dapat diabaikan dengan adanya kepuasan rakyat banyak."
6 Eksistensi negara bergantung pada jaminan yang diberikan kepada warga negaranya. Jika tak memberikan jaminan, buat apa ada negara. Jaminan ini adalah salah satu dari tiga dasar demokrasi. Dua dasar lainnya adalah adanya perdebatan publik sebelum kebijakan dibuat dan identitas kolektif sebagai bangsa. Yudi Latif, “Kesejahteraan: Eksistensi Negara Tergantung Jaminan”, Kompas 20 April 2007
7 UUD 1945 BAB XIII, PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Pasal 31berbunyi : (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. 4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Selain itu Pasal 32 Ayat 1 menyatakan : Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
8 Gotong royong

MEMBESARKAN BANGSA DI TENGAH PRAKTEK PEMBODOHAN RAKYAT



REFLEKSI :
MEMBESARKAN BANGSA DI TENGAH
PRAKTEK PEMBODOHAN RAKYAT

oleh : Iwan Gunawan.

• dibuat tahun 1998, diterbitkan kembali sebagai album saat bergulirnya reformasi.

Rakyat mungkin bangga hati pernah punya dua orang presiden yang memegang tampuk kekuasaan begitu panjang. Soekarno memimpin bangsa selama kurang lebih 20 tahun. Dan Soeharto lebih lama lagi, mengendalikan pemerintahan sekitar 32 tahun. Sejarah menggoreskan keduanya adalah orang-orang besar. Soekarno bergelar Pemimpin Besar Revolusi (PBR) dan Soeharto Bapak Pembangunan.

Ironis, keduanya jatuh dari puncak kekuasaan secara abnormal. Soeharto jatuh di tengah krisis ekonomi yang kini sedang berjalan. Padahal karena kepiawaiannya dalam mengatasi persoalan ekonomi nasional, penghargaan Bapak Pembangunan itu diberikan. Soekarno jatuh dalam situasi krisis politik, disebabkan terjadi kudeta G-30 S/PKI yang menghancurkan persatuan. Justru pengangkatan PBR menunjukkan betapa besar kepercayaan rakyat dalam menciptakan solidaritas bangsa. Mungkin ini "hukum besi" sejarah, bahwa seunggul apapun pribadi pemimpin pastilah punya kelemahan, kekurangan dan keterbatasan. Pengalaman yang perlu dipetik oleh para pemimpin bangsa ke depan. Bahwa apapun keunggulan pada dirinya tak akan mampu melawan batas jaman.

Bila kita rajin membaca sejarah bangsa, ironi semacam ini makin lebih banyak lagi. Dan hal itu barang kali dapat dilacak dalam pertanyaan : Mengapa tokoh dan pemimpin, di negeri ini bagai Ratu Adil, yang disembah puja rakyat agar dapat lepas dari belenggu penjajahan, kemiskinan dan keterbelakangan, mendapat gelar kebesaran dan terjatuh dari kekuasaan dengan kebesarannya ? Apa sesungguhnya yang terpendam dalam belahan dada rakyat, bila mereka bangga pada pemimpinnya, namun nasibnya tak kunjung mengalami perbaikan (too late too little) ? Siapa yang salah ? Pemimpin ataukah rakyat ? dan bagaimanakah eksistensi mahasiswa sebagai kaum terpelajar di antara keduanya ?

Agar pertanyaan itu menjadi relevan dengan situasi kini. maka pertanyaanya menjadi : apakah geruntulan persoalan bangsa mutakhir, seperti krisis moneter, kesulitan pangan, ketidakpastian hukum dan politik, aparatus setan gundul (penculikan, penjarahan, perkosaan, sniper), kian membumbungnya hutang luar negeri, sistem pendidikan yang amburadul dan seabrek persoalan lain. Dapat terpecahkan melalui pengangkatan seorang presiden yang bernama Habibie, yang diakui teknolog, sipil (bukan militer), Bugis, muslim dan mungkin juga sebagaimana yang dikatakan banyak orang, pemimpin yang lugu polos dilingkari oleh para cendekiawan ?

Barangkali ironi ini dapat diteruskan dengan pertanyaan, mengapa di tanah air kita yang terungkap dalam salah satu baris dalam lagu Koes Plus bahwa tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman. Juga mungkin masih terngiang dalam telinga ucapan guru kita ketika masih bocah. bahwa nusantara kita punya, terdiri dari lautan dan pulau dengan kekayaan alam yang tidak akan habis, meski terus di gali hingga kiamat nanti. Namun nyatanya sampai hari ini rakyat tetap miskin, bodoh, lapar dan menganggur ?
***

Barangkali kita akan tergugah bila mendengar seseorang berkata.”bagi kita rakyat Indonesia menjadi kaya adalah suatu kenyataan, bukan khayalan”. Namun rasanya di jaman Reformasi kini siapa pun akan kesulitan untuk mengerti, meskipun sarjana, doktor ataupun profesor. Mengapa ? karena dari sudut pandang ilmiah tak ada bukti dan faktanya. Bila memang apa yang disebut ilmiah harus ada fakta.
Gambaran itu, sebenarnya tidaklah berarti bahwa bagi rakyat Indonesia menjadi kaya adalah khayalan. Namun menyiratkan bahwa sebenarnya menjadi kaya bagi rakyat adalah bukan semata khayalalan, tapi adalah benar-benar sebuah kenyataan. Sayang kenyataan itu telah dirampas, dirampok dan dijarah oleh sebagian kecil orang dari bangsa sendiri yang kemaruk dan terimingi oleh impian dan khayalannya. Siapa tak kenal Edi Tansil ? Betapa borok birokrasi ketika terdengar bahwa APBN bocor sekitar 30 %. Apa kita bisa terima bila "Keluarga Cendana" memonopoli hampir seluruh sektor perekonomian negeri ini ? Mungkin pula kita masih ingat dengan kasus BPPC dan Mobil Timor, terbakarnya hutan Kalimantan, kasus Busang dan banyak lainnya.

Hingga, bila kini ada sekitar 113 juta orang Indonesia termiskinkan (Kompas, Juni 1998) maka sebenarnya mereka sedang hidup di negeri khayalan. Karena menjadi miskin adalah kemustahilan bagi rakyat di tanah air yang kaya ini. Dan tentu saja hidup di negeri khayalan, bagai tidur dalam impian, hingga para pakar ekonomi maupun politik sehebat apa pun tidak menduga malapetaka krisis multidimensi akan menimpa negeri ini. Apakah ini menunjukkan rabunnya paradigma ilmiah dari para pakar dan intelektual yang tumbuh pada masa Orde Baru ? Dan sungguh telah kita saksikan hingar-bingar perdebatan ilmiah itu, bagai menggantang asap.

Ringkasnya, kemiskinan yang dialami oleh rakyat sejak jaman koloni, revolusi, Orde Lama, Orde Baru sampai Reformasi politik kini, bukan takdir Tuhan tapi memang rekayasa segelintir orang (oknum) ! Tentu saja, karena tempo rekayasa ini begitu panjang, maka pelaku dan modus operandinya berlainan.
Ironisnya Tuhan seakan-akan tidak adil, bahwa para pelakunya tidak pernah sampai ke meja hijau untuk divonis dengan hukuman yang seadil-adilnya. Mungkin dalam masa kolonial dimaklumi terjadi, karena kebenaran akan rasa keadilan dan moralitas hanyalah klaim penjajah. Tapi menjadi tidak wajar apabila UUD 1945 yang menyatakan : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Namun hukum masih dilaksanakan dengan pilih bulu. Mungkin benar, kalau ada orang mengatakan bahwa sejarah itu ibarat pornografi. Membuka yang tertutup dan sekaligus menutup yang terbuka. Sejarah hanyalah riwayat para lakon, mungkin riwayat kita sendiri, selalu benar dan tidak pernah salah. Dengan demikian, apa yang kini disebut sejarah adalah sejarah "para malaikat yang suci".

Keadilan itu penting agar rakyat haqqul yakin bahwa yang salah itu pasti terperosok ke neraka kesengsaraan. Dan yang benar itu pasti meraih surga kebahagiaan. Begitulah ajaran yang sering kita dengar dari ucapan para pemimpin negara, partai politik maupun tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Namun rupanya keadilan masih khayalan, selalu saja kita temukan yang bersalah itu selamat dan ada yang menyelamatkan. Sering kali, benak kita bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh para pemimpin bangsa ini ? Tidak bisa dipungkiri, dan kitapun kemudian harus meyakini, bahwa sebenarnya rakyat tidak miskin tapi dimiskinkan; rakyat sebenarnya tidak bodoh, tapi dibodohkan. Sebagai akibat dari tidak adanya kesamaan ucapan dan perbuatan para pemimpin. Jadi kemanakah rakyat harus mengadu ?

Dalam keadaan miskin, haus, lapar dan bodoh rakyat menjadi merasa kerdil, kecil, kecut, takut, minder dan segala macam perasaan hina yang lainnya. Sehingga membelenggu mental menjadi tertutup, terbelakang, terkekang dan labil. Apakah bangsa dengan rakyat yang bermental demikian dapat maju, berkembang dan menjadi besar ? Merasa yakinkah kita bahwa para tokoh reformasi sekarang ini pun tidak demikian ? Dan bagaimanakah mahasiswa ? Apakah mahasiswa mampu menjadi ujung tombak bagi perubahan dan kemajuan bangsa ? Apakah akan tenggelam dalam lautan ilmu pengetahuan saja ? Juga larut dalam hiruk pikuk di perjudian kursi politik kekuasaan ? Dan dapatkah dibedakan antara yang haus kekuasaan dengan yang akan menciptakan keadilan ?
***
Rasanya agak berlebihan bila untuk melepaskan belenggu ini, mahasiswa harus mendidik, membina, membimbing, menyadarkan atau pun mengarahkan rakyat. Namun, yang lebih tepat barang kali, mahasiswa perlu membangkitkan diri dengan cita-cita dan ide-ide yang menyatukannya dengan rakyat. Sehingga pikiran-pikiran yang ditemukan menjadi sifat-sifat dirinya. Ini berarti, kesuksesan mahasiswa dalam gerakan-gerakan mencerdaskan, mengkayakan, dan membesarkan bangsa yang telah merdeka, tergantung dari kejernihan hati, kelapangan jiwa dan ketajaman pikiran dalam hidup bersama rakyat, yang tercermin pada tindakan.

Apakah akan lahir sifat-sifat kemanusiaan seperti yang terdapat pada Fir’aun, Qorun, Bal'am, Hamam ataukah Musa, Isa, Muhammad seperti dalam kisah-kisah Qur'an. Atau juga semacam sifat-sifat Karl Mark, Hitler, Machiavelli, Khomaeni, Gorbachev, Deng Xiaoping, Fidel Castro, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir, Amir Syarifudin, Soeharto dan orang-orang besar lainnya. Menjadi ilham bagi kaum terpelajar dalam peduli pada rakyat. Bisa pula sifat lain yang menyisipkan sejumlah kebenaran, kezaliman, kebaikan, kejahatan atau sebongkah kepalsuan baru. Semuanya akan tergurat hitam diatas putih dalam jejak-jejak perjalanan bangsa yang tidak mudah terhapus dalam rekaman rakyat seantero bangsa.

Mungkin bila memang rakyat masih punya rasa keadilan sebagai manusia. Sungguh kepercayaan terhadap mahasiswa sebagai generasi baru dan pembawa suara baru, tidak akan pernah pudar. Mereka yakin, bahwa jantung dan mata hati mahasiswa senantiasa bersih, jernih, bening, dan tajam dalam merasakan penderitaan rakyat. Tidak berlebihan bila sebagian besar dari rakyat (baik awam maupun intelek) mengatakan "kata-kata yang terlontar dari mahasiswa adalah kata-kata suci dan bertuah". Namun sayang, masih banyak dari mahasiswa, jangankan bicara, untuk membuka mulut saja susah. Padahal pada masa-masa sebagai mahasiswalah peluang untuk bicara paling lebar terbuka. Mungkin pengertian mahasiswa kini perlu direvisi, agar mahasiswa sadar akan fungsi dari keberadaannya. Yakni hanya anak muda yang berani bersuara, berbicara, bukan diam berjuta-juta kata, mereka yang berhak menyandangnya.

Secara alami kebersihan hati itu bagai air, bila lama tak mengalir akan menjadi kotor dan bau. Pula hati sebaik, sebenar, atau seindah apa pun menjadi tidak bernilai, bila lidah yang dianugerahkan Tuhan, tidak pernah melontarkan suara dan kata-kata. Ada benarnya petuah yang menyatakan bahwa untuk menjadi orang besar, kaya, dan cerdas adalah hanya cukup dengan bicara, bersuara atau berkata-kata. Yakni mengatakan kenyataan dengan cerdas, jujur, benar dan dapat dipercaya.

Tak ada satu pun manusia yang rela dirinya dikutuk, dicerca, dihina dan dilecehkan oleh sesama. Semua manusia berharap menjadi bermanfaat, dan baik serta dipercaya dan diakui. Namun perlu disadari, tidak selamanya manusia sanggup meskipun ingin memperolehnya. Oleh karena itu, barangkali kita perlu berkaca pada yang telah diguratkan Sartre yang dengan lembut membisikan : “Sejarah datang bagai tamu mengetuk pintu, dan bila yang ditemuinya orang-orang kerdil hingga tak berani buka pintu, mungkin dia akan kembali seratus tahun lagi”.

Wallahu a’lam bisshowab.

IMAJI TENTANG INDONESIA

Oleh : Iwan Gunawan
__________________________

Maraknya korupsi sampai dengan korban TKI. Dimana di dalamnya terkait dengan birokrasi, ekonomi rakyat, kerusakan ekologi, kemiskinan, pengangguran, pemilu dan kemampuan pemerintah untuk menjadi pemerintahan yang bersih, termasuk juga otonomi daerah. Merupakan cermin dari kualitas imajinasi rakyat dari bangsa-negara mengenai Indonesia yang sedang dihuninya.

Mengapa negara kita mengalami perkembangan yang sangat lamban dalam memajukan kehidupan kesejahteraan rakyatnya, khususnya sejak reformasi terjadi ? Pada satu sisi, dirasakan bahwa usia reformasi yang digulirkan sejak tahun 1999 (sepuluh tahun) itu memang bukan waktu yang panjang untuk menata kembali bangsa yang besar ini. Namun, pada sisi lain tidak sedikit negara yang memperoleh stabilitas dalam waktu yang singkat itu. Karenanya, kita perlu untuk memahami kembali realita apa yang membuat hal ini terjadi ? Padahal struktur politik kita telah mengalami perubahan dari otoriter (birokrasi dan militer) ke arah demokrasi.

Pertanyaan kemudian timbul. Mengapa demokrasi kita tidak memunculkan suatu peningkatan kebebasan relatif dimana setiap orang dapat mengambil manfaat dari sistem ini ? Hanya sebagian orang saja yang mendapat manfaat itu, khususnya adalah dalam kehidupan politik. Dimana sifat demokrasi selalu dilandasi oleh tumbuhnya ruang kebebasan mutlak yang lebih besar dari sebelumnya. Masing-masing orang kini telah memiliki kebebasan apapun untuk meraih apa yang diinginkan (want). Ini jelas merupakan perkembangan yang positif, dimana pada era otoriter harus diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan jiwa. Sehingga sering kini terdengar pandangan bahwa demokrasi sudah berjalan di dalam relnya. Namun, pada sisi lain kita menyaksikan banyak manusia tidak berdaya menghadapi situasi yang bebas ini. Pengangguran, kemiskinan, kelaparan dan sekaligus juga kebodohan.

Memang dikatakan bahwa demokrasi bukanlah sistem yang terbaik akan tetapi ia adalah sistem yang paling sedikit keburukannya. Sebagai keunggulan dari demokrasi yang mengakui adanya kontrol dari rakyat. Dengan pengakuan terhadap kontrol itulah maka rakyat dan kekuatannya bisa memperoleh kebebasan menyatakan berbagai aspirasinya. Sehingga kebijakan yang buruk bisa dicabut atau dihindari. Namun demikian, justru sekarang kita menemukan bahwa mungkin bisa jadi kebijakan yang lahir dewasa ini lebih baik dari masa otoriter. Akan tetapi dalam prakteknya ternyata tidak sanggup menjawab masalah dan tantangan yang sedang dihadapi bangsa ini.

Sebagaimana telah dikatakan diatas bahwa keburukan yang dialami rakyat semakin tampil nyata dalam kehidupan bangsa ini. Hal yang telah menimbulkan banyak guratan kefrustasian. Salah satu contohnya adalah pandangan, yang garis besarnya cenderung melihat bahwa telah banyak pembicaraan untuk mengatasi berbagai keburukan tapi ternyata keburukan terus berlangsung bahkan semakin marak. Sehingga kajian atau pembahasan dalam upaya mengatasinya dianggap hanyalah wacana. Pada sisi lain, juga tercermin adanya sikap ketidakpercayaan terhadap figur-figur moralis. Padaha idealnya mereka pandai menempatkan diri menjadi panutan yang diharapkan rakyat untuk tidak ikut arus dalam perilaku yang buruk. Sehingga kemudian tampak, bahwa ternyata kebebasan mutlak yang telah diraih melalui demokrasi, belum diiringi oleh kebebasan relatif dimana setiap orang dapat meraih manfaat untuk perbaikan nasib dan kehidupannya. Atau sekurang-kurangnya rakyat memiliki harapan dimana masalah yang dihadapi dapat dipecahkan.

Kebebasan mutlak yang belum terkendali itu, kini telah menimbulkan akibat bahwa orang-orang yang memiliki keunggulan banyak uang dapat mengambil manfaat demokrasi dengan menggunakan orang-orang yang kebebasan relatifnya sangat lemah. Secara politik, ditandai oleh biaya dalam kehidupan demokrasi yang sangat besar. Setidaknya bapak Nanat Fatah Natsir (Rektor UIN Sunan Gunung Jati - Bandung) pernah menyampaikan, bahwa biaya untuk mencalonkan diri dalam pilkada kabupaten/kota telah mencapai kisaran 7,5 – 15 Milyar. Andaikan gaji dari Bupati/walikota sebesar 50 juta. Bisa dibayangkan 12 x 5 x 50 juta yang besarnya hanya mencapai 3 milyar. Walhasil pemimpin yang terpilih akan nombok untuk membayar biaya kompetisi pemilunya. Tentu saja ini kemungkinan besar bukanlah uang pribadi tetapi uang dari para pendukungnya, yang bila kemenangannya teraih harus dikembalikan dengan kompensasi yang lain, yaitu bisa jadi kebijakan (kong kali kong).

Dari sinilah kemudian kita bisa mendapat gambaran mengapa setiap bupati/walikota terpilih sering terlibat dalam perilaku korup. Dan tuduhan korupsi terhadap pemimpin kemudian mengganggu stabilitas kepemimpinannya. Perhatian untuk memberikan pelayanan kepada publik menjadi melemah. Dan jelas bahwa berbagai keburukan timbul sehingga rakyat mengalami kesengsaraan. Kenyataan ini perlu menjadi bahan pertimbangan ke depan. Bahwa banyak persoalan terkait erat dengan realitas demokrasi yang tidak stabil dengan melahirkan banyak keburukan.

Masalahnya kemudian, adalah bagaimana menciptakan stabilitas dalam kehidupan berdemokrasi ? Terus terang bangsa kita masih belum menemukan pandangan yang utuh tentang demokrasi. Akan tetapi uraian di atas merupakan realita yang penting dipecahkan. Sampai kini, kita tidak habis pikir mengapa banyak orang begitu ambisius untuk merebut posisi jabatan kepemimpinan melalui cara-cara “primitif” dengan mengabaikan resiko yang akan terjadi kemudian ? Resiko itu bukan hanya bersifat pribadi akan tetapi juga berakibat pada terbengkalainya tugas publik yang harus dijalankannya sebagai pemimpin. Kenyataan lain menunjukan bahwa para pemenangnya adalah orang yang sering dikatakan sebagai orang yang didukung oleh pemilikan dana yang kuat. Dengan demikian, tumbuh arus publik untuk memilih orang-orang yang berpemilikan dana besar daripada gagasan-gagasan yang mencerminkan tuntutan dan kebutuhan yang perlu dipenuhinya. Dari sinilah keprihatinan muncul, bahwa demokrasi yang terjadi harus diperbaiki. Pertanyaannya, darimana kita memulainya ?

Sudah sangat jelas bahwa persoalan ini harus dipecahkan. Namun caranya tidak akan selalu sejalan dengan idealitas yang kita pikirkan. Dimana kita sadar bahwa dalam demokrasi bukan kita sendiri yang menentukan. Akan tetapi berbagai penemuan solusi yang didapatkan bisa jadi merupakan bagian kebenaran yang perlu diperjuangkan untuk dimanifestasikan. Upaya pencapaian dari ideal kita, mungkin hanya tercapai sangat sedikit. Tapi itu bisa jadi justru dapat menjadi investasi yang sangat berguna untuk terus memperbaiki kehidupan demokrasi.

Dengan demikian, kita berharap bahwa melalui perdebatan publik akan membawa kita pada arah perubahan demokrasi yang paling sedikit memiliki keburukan. Dengan cara memecahkan keburukan yang banyak yang diakibatkan demokrasi. Pencarian pemecahan terhadap berbagai persoalan publik perlu terus diupayakan. Karena sangat diperlukan demi menciptakan kebebasan relatif rakyat yang semakin menganga. Sehingga kemudian demokrasi yang diharapkan dapat tercapai. Pada sisi lain juga, karena perubahan terhadap perbaikan demokrasi di negara kita memerlukan waktu yang panjang. Maka kita perlu mendorong perubahan-perubahan itu dengan cara menempatkan realita demokrasi kini sebagai bagian dari upaya pemecahan masalah-masalah itu.

Perlu pula diketengahkan, pandangan Amien Rais pada tahun-tahun 1990-an mengenai demokrasi. Ia menyatakan bila kita baru dapatkan demokrasi 50%, maka kita harus berjuang agar menjadi 60%, dst sampai dengan 100%. Dan ternyata memang Amien dapat menduduki kursi MPR dengan perjuangannya itu. Namun, juga demokrasi yang diperjuangkan baru sebatas pada adanya perlindungan terhadap kebebasan mutlak (kemanusiaan), dengan kebebasan relatif yang masih rendah. Karena itu kini diperlukan pada upaya-upaya untuk menciptakan persamaan-persamaan diantara warga negara kita, baik ekonomi maupun pandangan politik. Sehingga demokrasi tidak berjalan secara liar namun selalu berpijak pada etika. Persamaan tentu saja berbeda dengan kesamaan, akan tetapi merupakan bentuk persamaan relatif. Agar tidak terhindar dari suatu pemanfaatan terhadap orang-orang lemah oleh orang-orang kuat di dalam demokrasi.

Jadi, mungkin pengaturan pemilu perlu dilihat dari perspektif mengenai adanya kenyataan bahwa persamaan relatif diantara warga masih sangat rendah itu. Persamaan relatif ini salahsatunya bisa diartikan adanya persamaan kepentingan melalui suatu dialog yang intens antara para calon pemimpin dengan rakyat. Kampanye yang dilakukan melalui mobilisasi massa tidak memberikan makna yang signifikan bagi proses demokratisasi karena hanya mendorong pada komunikasi yang satu arah.
Tapi juga mengapa harus dua arah ? Sebabnya adalah penawaran dari para pemimpin mengenai agenda politik yang menjadi misinya masih jauh dari harapan rakyat. Partai politik sebagai media komunikasi rakyat dengan pemimpin masih belum berjalan secara efektif untuk menyerap aspirasi permintaan rakyat dengan obyektif.

Sistim yang berlangsung dewasa ini, bisa dipandang masih dalam tahap pra-demokrasi. Dimana kebebasan relatif rakyat belum nyata tampil dalam kehidupan demokrasi. Dimana rakyat dapat “membunyikan”, mengatakan atau mengartikulasikan kebutuhannya yang menjadi dasar sikapnya. Dengan cara itulah akan terjadi saling mengenal (ta’aruf) antara pemimpin yang menawarkan jasa kepemimpinan dengan rakyat yang menyampaikan permintaan kebutuhan. Melalui ta’aruf ini maka timbulah tafahum dimana rakyat dan pemimpin saling memahami. Pada satu sisi rakyat mengetahui kapasitas pemimpin melalui agenda yang ditawarkan sebagai kesanggupannya. Dan pemimpin memahami permintaan rakyat yang sesungguhnya. Dengan itulah akan terjadi saling tolong menolong (tafahum), karena agenda yang dilakukan pemimpin adalah agenda rakyat.

Persoalannya, kini seringkali terjadi tolong menolong itu melalui proses pengenalan dan pemahaman diantara rakyat dan pemimpin yang bersifat instan. Akibatnya seringkali terjadi penghianatan diantara kedua belah pihak. Bentuk antagonisme ini telah menciptakan banyak keresahan. Suatu gejala demokrasi yang janggal, dimana imaji mengenai bangsa dan negara antara rakyat dan penguasa lebih banyak pertentangan daripada persamaan. Dari sudut ini pula persoalan demokrasi kita menampakkan gejalanya. 
 

KEKUASAAN MERITOKRASI BUKAN KEMUSTAHILAN


Oleh : Iwan Gunawan


Judul : MOHAMMAD AMIEN RAIS, PUTRA NUSANTARA
Tim Penulis : Asman Abnur, Irwan Omar dan Muhammad Najib
Pencetak : Stamford Press, Singapura
Tahun Terbit : Edisi kedua, Januari 2004
Halaman : 280 halaman

Tak sedikit orang berpandangan bahwa demokrasi mahal. Peraihan kursi politik tergantung dari berapa banyak uang ditunaikan untuk memenangkan persaingan. Meski kemerdekaan Indonesia lebih separuh abad, para politisinya di parlemen masih jauh dari karakter dan kapasitas yang diharapkan. Maka, tak heran mereka kerap dituding sebagai kaum medioker. Problem-problem bangsa masih jarang terpecahkan secara tepat untuk memajukan kesejahteraan rakyat.


Sosok Fenomenal
Amien Rais adalah sosok politisi yang fenomenal. Terpilihnya ia menduduki Jabatan Ketua MPR-RI (1999- 2004) justru merupakan pengecualian dari pandangan pesimis akan tegaknya kekuasaan meritokrasi. Dimana kualitas karakter, pengalaman dan kemampuan kepemimpinan seseorang cenderung diragukan dalam bargaining memenangkan persaingan politik.

Namun dari kehidupan Amien yang bersahaja ternyata ia lolos menduduki jabatan terhormat itu. Integritasnya dalam mendorong dan mengawal reformasi tentu saja menjadi kekuatan moral dan prestasi bernilai bagi terjadinya perubahan politik yang diharapkan publik. Padahal ketika ia belajar di Amerika (1970-an), sedikitpun tak terbersit olehnya akan memasuki kepemimpinan nasional pada tiga dekade kemudian. Dalam kesadarannya hanyalah bahwa Indonesia membutuhkan dorongan ekonomi dan kepemimpinan yang etis.

Ia mengabdi sebagai dosen hingga menjadi Guru Besar di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1981). Meniti karir organisasi di Muhammadiyah dan kemudian menjadi Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) di tahun 1995. Istrinya, Kusnasriyati mengelola warung makan dan taman kanak-kanak disamping mengurus keluarga. Kebersahajaannya tak pernah menjadi kendala berarti untuk selalu berbuat terbaik dalam berbagai aspek kehidupan seperti keluarga, akademis, kemasyarakatan dan juga politik.
Pada masa Soeharto berkuasa, Amien skeptis menyaksikan perkembangan Indonesia. Ketika perekonomian menunjukkan kemajuan, rakyat justru menglamai kenyataan sebaliknya. Nasib mereka sangat merana karena tidak dapat menembus lingkaran nepotisme Soeharto dan kroni bisnisnya. Pengawasan tidak mampu menyentuh dinding birokrasi di semua tingkatan. Sehingga transparansi hanya menjadi isapan jempol. Anggota parlemen yang seharusnya menjadi pemantau eksekutif justru menolak untuk mengumumkan aset dan kekayaan mereka. Wakil rakyat cenderung menikmati keuntungan jangka panjang dan menganggap sebagai hasil jerih payahnya dalam mendapatkan kursi jabatan.

Dalam hal terjadinya reformasi ia yakin jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar disebabkan oleh lemahnya fundamental ekonomi dan bukan karena manuver politik. Soeharto sukses membawa bangsa ini menggagalkan kudeta PKI. Di bawah bimbingannya negara kita menata dan membangun ekonomi yang kuat. Namun dibalik semua fakta itu multi krisis sebagaimana dialami telah memunculkan kebutuhan untuk reformasi.

Kritis dan berani
Amien menonjol dengan aktivitas dan pernyataan-pernyataannya yang cerdas dan kritis. Pada mula bergulirnya reformasi, ayah dari lima anak yang lahir di Solo 26 April 1944 ini didaulat berbagai kalangan aktivis sebagai Bapak Reformasi. Selain itu ia diultimatum untuk menyatakan mencalonkan diri menjadi presiden. Pernyataannya kemudian dianggap sebagai tindakan yang amat berani di tengah rezim militer Soeharto masih mengendalikan kekuasaan.

Sikapnya itu bukan semata-mata didorong hasrat untuk berkuasa. Melainkan karena keprihatinan atas penderitaan rakyat akibat kesalahan kepemimpinan nasional yang otoriter dan korup. Ia melihat, keterpurukan bangsa ini harus diperbaiki mulai dari tampuk kekuasaan. Walaupun banyak pihak mengkhawatirkan keselamatannya. Namun keyakinannya yang merupakan manifestasi dari semangat untuk menyuarakan aspirasi politik rakyat menyebabkan ia terus maju dengan mantap.

Obsesi itulah yang kemudian setelah Soeharto lengser, Partai Amanat Nasional (PAN) didirikannya bersama-sama dengan para tokoh reformis lain. Suara yang diperoleh PAN pada Pemilu 1999 memang tidak cukup signifikan untuk mengantarkannya ke kursi presiden agar dapat mengendalikan upaya pewujudan tujuan reformasi total. Meski itu, ia tampil memimpin MPR-RI dengan keunggulan pribadinya sebagai politisi yang konsisten dan demokrat.

Visi Politik
Tugas-tugas konstitusional yang dipimpinnya tidaklah ringan. Dan lebih berat lagi adalah bagaimana MPR dapat mengimplementasikan agenda reformasi. Dalam hal ini, ia menyatakan,”Ada beberapa hal yang dapat saya pelajari sejak memasuki mainstream politik tahun 1998. Secara politik saya harus menghadirkan keseimbangan antara opini dan kebutuhan rakyat. Hal itu berarti saya harus mendengar, mengenal dan merangkul mereka, sebab mereka menunggu dengan setia bahwa reformasi dan diri saya akan membawa perubahan yang positif. Di dalam lembaga MPR, tantangan-tantangan yang saya hadapi sungguh mengecilkan hati. Terdapat 700 orang di dalamnya dengan berbagai perbedaan”.
Melalui kepemimpinannya, dalam Sidang MPR 1999 Amien telah menghapuskan beberapa mitos. Pertama, anak didik Soeharto (Habibie) telah turun melalui proses demokratis. Kedua, untuk pertama kalinya, para wakil rakyat bebas memilih presiden beserta wakilnya tanpa tekanan politik maupun kekerasan militer.

Kesanggupannya mengimplementasikan agenda reformasi secara konstitusional itu tidak terlepas dari visi politiknya. Di satu sisi, ingin menghidupkan demokrasi dengan melibatkan seluruh partai politik dan kelompok kepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Dan pada sisi lain, bangsa ini harus memulai perjalanan baru dari “pemerintah menurut penguasa” menjadi “pemerintah menurut hukum”. Dimana seluruh warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Moral yang melandasi politik Amien untuk menegakan tatanan kehidupan berbangsa yang mandiri dan pemerintahan yang bersih.

Biografi ini terbagi dalam 4 bagian, (1) Perjalanan Akademik, (2) Berdiri di Persimpangan Politik : 1998, (3) Memasuki Kancah Politik Nasional, (4) Di Puncak Perubahan. Dan secara terpisah diakhiri bagian wawancara yang banyak terkait dengan persoalan seputar Amandemen UUD ’45.
Sebagaimana dikemukakan tim penulisnya, buku ini tidak dimaksudkan sebagai tesis politik untuk mengupas keberhasilan dan kegagalan perjalanan politik. Melainkan untuk menjelaskan visi politik dan perjalanan karier dari seorang akademisi, aktivis sosial sampai menjadi politisi nasional. Konteks sosio-ekonomi yang digeluti Amien, menjadi titik perhatian terpenting karena banyak media dalam menampilkan sosok putra nusantara ini sangat sedikit yang menyinggung hal itu.

Terlepas dari segala kekurangan sebagai manusia. Amien dengan otensitas dan karakternya telah menjadi garda depan dalam transisi politik dari otoriterisme ke demokrasi yang berjalan secara damai. Terlebih dari itu, perjalanan politiknya yang fenomenal menjadi bukti bahwa dibalik kekuatan modal yang selalu mengkontaminasi kancah perpolitikan, kekuasaan meritokratis bukan mustahil bisa dicapai.
Singkatnya, buku yang ditulis dengan gaya bahasa bertutur ini ingin menyampaikan pesan. Dalam kondisi sebobrok apapun, politisi yang berkarakter pasti dibutuhkan rakyat. Dan otensitas politisi selalu menjadi daya pikat dukungan publik untuk duduk dipercaya sebagai pemimpin secara terhormat.
Sangat disayangkan, sampul eksklusif dan kualitas cetakan yang profesional menjadikan harganya cukup tinggi. Mungkin bila lebih murah, hausnya rakyat akan keteladanan figur publik bisa terobati dengan membaca biografi ini. (Igj/5-07].

CENDIKIAWAN DAN DEMOKRASI


Oleh : Iwan Gunawan
Ditulis 2007
__________________________


Relasi cendikiawan dan politik kini, menarik untuk diamati. Tidak sedikit pandangan yang menyiratkan, bahwa carut-marutnya politik ekonomi dewasa ini diakibatkan dari terjadinya krisis dukungan publik terhadap cendikiawan. Dan pada saat bersamaan panggung politik kini tengah didominasi kaum medioker.

Pandangan yang mengemuka itu, sekurangnya telah memberikan gambaran ironis dilihat dari karakter cendikiawan sebagai agen perubahan. Pertama, gagasan atau ideologi yang menjadi kekuatan dan daya pikat dari cendikiawan tidak lagi jadi tumpuan untuk memenangkan kompetisi meraih kursi parlemen di era yang kini demokratis. Dimana kapital tengah menggantikan gagasan dalam bargaining kursi kekuasaan. Kedua, seorang cendikiawan dalam realitasnya dipandang tidak memiliki keberanian untuk mengambil resiko dalam menyatakan kebenaran yang menjadi fungsi politiknya. Para cendikiawan lebih menekankan kelanggengan hubungan dengan partai-partai daripada memberikan kritik untuk menciptakan perubahan yang berarti. Dimana partai politik menjadi penentu gagasan yang disuarakan seorang cendekiawan. Ketiga, peminggiran posisi cendikiawan dari panggung politik ini, menyeret kepada timbulnya pemikiran dimana keterlibatan cendikiawan dalam politik dianggap sebagai sebuah keterlibatan dalam konspirasi yang bermakna kotor dan penghianatan.

Keberanian untuk memperjuangkan gagasan merupakan karakter dari seorang cendikiawan. Selain kearifan sebagai orang yang memiliki kedalaman ilmu, wawasan yang luas dan visi ke depan. Di tangan para cendikiawan harapan masyarakat digantungkan. Cendikiawan dan pendukungnya bersama-sama memperjuangkan bagaimana sebuah gagasan diwujudkan, yaitu berupa perubahan dari kondisi tertindas menjadi sebuah bangsa yang bebas, adil dan bermartabat. Dalam konteks ini, ironisme relasi cendikiawan dan politik dari pandangan yang mengemuka menimbulkan tanda tanya, masih adakah cendikiawan di negeri ini ?

Figur Cendikiawan

Secara historis, keterlibatan dalam partai politik bagi cendikiawan di Indonesia bukanlah pilihan yang dianggap kotor dan bentuk penghianatan. Professor Husseyn Alatas seorang sosiolog dari Malaysia mengungkapkan bahwa Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Syafrudin Prawiranegara adalah para cendikiawan yang berada di garis terdepan dari masing-masing partai politiknya dalam memperjuangkan ideologi. Keunggulan gagasan mereka, meskipun kini bisa jadi tidak relevan, masih diminati sebagai sumber kajian dan menjadi inspirasi dalam upaya mewujudkan sebuah bangsa demokratis dan sejahtera.

Tentu saja, bukan hanya keunggulan dari gagasannya saja sehingga mereka menjadi pemimpin partai, akan tetapi juga adalah keberaniannya untuk melawan penindasan. Integritas mereka dalam mewujudkan gagasan keadilan sosial yang dianutnya menjadi teladan publik dan didukung dengan sukarela. Pendek kata, relasi cendikiawan dan politik bukan relasi yang terpisah, berbeda dan berlawanan. Melainkan, karena strategisnya kursi parlemen maka para cendikiawan berupaya dengan segala kreasinya untuk meraihnya.

Orde baru sebagai rezim repressif-otoriter yang membatasi kebebasan, bukan alasan yang kuat bagi para cendikiawan untuk membatasi diri dalam memperjuangkan misi gagasannya. Parlemen dikebiri menjadi sub-ordinat dari kekuasaan rezim. Pemilu sebagai ciri dari negara demokratis hanya dilaksanakan kulit luarnya saja. Betapapun parlemen terkooptasi, tidak mengurangi anggapan akan pentingnya kaum cendikiawan untuk meraih kursi di lembaga legislatif ini. Tidak kurang cendikiawan seperti Cak Nur (HMI) dan Gus Dur (NU) yang mendapat julukan “Guru Bangsa” pernah menjadi anggota parlemen.

Meskipun keterkaitan cendikiawan dan parlemen di Indonesia sangat erat, namun demikian, sejarah menukilkan bahwa parlemen bukan jalan satu-satunya untuk menciptakan perubahan. Amien Rais melalui organisasi Muhammadiyah yang dipimpinnya menyuarakan pentingnya rezim Soeharto mundur. Melalui jalur ekstra parlemen ia tanpa lelah menggaungkan kritik terbuka terhadap otoriterisme rezim. Hingga kemudian momentum reformasi tiba diiringi dengan mundurnya Soeharto. Rupanya Amien Rais harus melakukan “Ijtihad Politik” untuk membangun sebuah partai demi mewujudkan agenda reformasi.

Dalam era reformasi, ketiga figur cendikiawan Cak Nur, Gus Dur dan Amien Rais di atas, telah menjadi pelaku utama dalam proses meletakan pondasi baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Amien Rais kemudian menjabat Ketua MPR, Gus Dur terpilih menjadi Presiden dan Cak Nur sebagai tokoh independent menyerukan pentingnya oposisi-loyal. Tidak hanya demikian, Amien Rais dan Cak Nur ikut berkompetisi untuk memenangkan kursi kepresidenan. Meski Cak Nur gagal dalam tahap pencalonan, dan Amien kalah dalam pemilihan.

Tentu saja, sebagai manusia mereka tidak sempurna. Namun dilihat dari perannya dalam meningkatkan kualitas parlemen dalam mewujudkan cita-cita keadilan sosial yang ideal, saham mereka sangat berarti. Kekritisan mereka sebagai seorang cendikiawan tidak berkurang karena posisinya sebagai anggota parlemen. Dan juga peran mereka sebagai politisi tidak pernah terhenti meskipun di luar partai. Dalam posisi apapun mereka dengan otensitas yang dimilikinya, sebagaimana diakui publik, adalah manusia yang menjalankan fungsi kecendikiawanan.

Tantangan Demokrasi

Demokrasi sebagaimana disuarakan para cendikiawan, adalah sebuah sistem yang memiliki sedikit keburukan daripada sistem lainnya. Meskipun demikian, demokrasi bukanlah barang jadi. Tumbangnya sebuah rezim otoriter hanyalah perubahan kondisi dalam bentuk kebebasan dari sebuah pemasungan (freedom from). Tugas para cendikiawan dalam era reformasi kini adalah mengisi kebebasan untuk membangun (freedom for) cita-cita sosialnya.

Mewujudkan keadilan sosial dalam era paska kejatuhan rezim otoriter tidaklah semudah bagaimana membalik telapak tangan. Demokrasi yang dihasilkan melalui reformasi telah memberikan ruang bagi tersalurkannya berbagai gagasan bagaimana keadilan sosial bangsa ini dicapai. Namun, pada sisi lain kebijakan yang ditetapkan sangat kurang dalam memberikan hasil yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan jaman. Sedikit kegagalan dari sistem demokrasi merupakan kenyataan yang tak bisa dihindarkan. Namun, kegagalan yang melebihi keberhasilan dari kebijakan yang diciptakan, menunjukan bahwa aspirasi kebangsaan dari publik dewasa ini belum terserap menjadi rule of the game dalam berdemokrasi. Untuk mencapai kesejatiannya, kritik dan perjuangan untuk perbaikan sistim demokrasi senantiasa sangat diperlukan, sehingga jalan terbaik menuju keadilan sosial menjadi mudah untuk dicapai.

Dorongan untuk memperbaiki sistem demokrasi kini muncul dalam bentuk usulan amandemen konstitusi ke-5. Bertujuan memperkuat posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan memberikan pemilikan hak suara dalam menetapkan kebijakan politik bersama DPR. Deni Indrayana pakar hukum dari UGM mengemukakan pentingnya amandemen tersebut. Bahwa secara konstitusi, dominasi partai politik telah melahirkan kekuasaan oligarki (Republika 3/2/2007). Tentu saja hal ini akan menimbulkan masalah dimana politik negara sangat tergantung pada partai. Untuk menempatkan seseorang dalam jabatan strategis di lembaga negara tidak dimungkinkan melalui mekanisme lain selain lewat pintu partai. Tidak hanya dalam memilih presiden dan wakilnya serta anggota legislatif, untuk menyaring calon anggota yudikatif seperti Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun melalui mekanisme “politicking” di tingkat parlemen yang merupakan wadah partai. Bahkan tangan-tangan politik ikut campur dalam pembentukan kabinet yang hakikatnya merupakan hak prerogratif presiden. Dimana kalau semua kekuasaan negara harus melalui pintu partai, ini berbahaya.

Argumen Deni diatas, setidaknya menyiratkan bahwa tuntutan amandemen ke-5, perlu diikuti dengan amandemen lainnya. Dimana kesetaraan posisi eksekutif dan yudikatif masih perlu ditegakkan berhadapan dengan kekuatan politik legislatif. Munculnya dominasi legislatif terhadap kedua lembaga lainnya saat ini perlu dianggap sebagai proses transisi yang mencerminkan respon politik terhadap kenyataan sebelumnya dimana eksekutif cenderung dominan. Pelajaran yang perlu disadari bahwa dominasi dari suatu kekuasaan, selalu mengarah pada kecenderungan terjadinya penyelewengan aspirasi publik. Dengan demikian, mengacuhkan dominasi legislatif-oligarkis yang kini sedang berlangsung adalah menunggu prahara baru yang sangat tidak kita harapkan.

Nampaknya, perjuangan dan penegakan demokrasi harus terus diupayakan. Keadilan sosial sebagai cita-cita kolektif bangsa tidak akan tercapai, bila kekuasaan berada dalam dominasi segelintir manusia. Kekuasaan oligarkis dengan kendali para medioker tidak dapat menjadi tumpuan untuk terjadinya kemajuan. Demokrasi harus diperjuangkan agar kebebasan sebagai hak warga negara dapat tersalurkan sehingga kebijakan negara berdasar pada kebenaran. Di sisi lain, demokrasi harus ditegakan agar pencapaian keadilan sosial sebagai kewajiban negara sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan warganya.

Politik dan cendikiawan merupakan sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pemikiran kritis cendikiawan merupakan daya pikat dukungan publik dalam melaksanakan tugas perjuangan politik sebuah partai. Partai politik sebagai media perjuangan tidak memiliki makna pencapaian keadilan sosial tanpa pemikiran kritis kreasi para cendikiawan. Cendikiawan selalu lebih besar dari tatanan politik (dan kapital) yang cenderung mengerdilkannya. Karena itu, ia selalu terdepan dalam penciptaan gagasan perubahan yang diiringi dengan tindakan politiknya. Diikuti kesadaran publik untuk berpartisipasi dalam mendukung gagasan untuk sebuah perubahan.

Keberadaan kaum cendekiawan, mungkin tidak akan memunculkan pandangan ironis, bila para cendikiawan secara berani dan terbuka menampakkan otensitas gagasannya untuk memperjuangkan dan menegakan demokrasi. Sejarah membuktikan bahwa cendikiawan yang memiliki gagasan otentik selalu menjadi figur publik sebagai pembawa perubahan. Dan dari otensitas gagasan individu cendikiawanlah, biasanya tatanan politik sebuah bangsa dibangun. Tidakkah Bangsa ini dibangun hanya oleh dua orang founding fathers, Hatta sebagai peletak pondasi keadilan sosial dan Soekarno sebagai pembentuk identitas kebangsaan ? Lalu akankah hadir cendikiawan pencipta demokrasi unik ke-indonesiaan ?

0000oo0oo0000

Mengendalikan Pasar, Mencari "Guru Negara"

“Kelangkaan bukan hanya disebabkan alam, tapi juga manusia.
Dan ilmu ekonomi tidak hanya bersangkut paut dengan alam sekelilingnya, tapi juga dengan selera konsumsi
manusia dan kesanggupannya berproduksi”
(Robert. L. Heilbroner; The Making of Economic Society)

Sistem ekonomi pasar yang diagungkan dapat membina rasionalitas, ternyata telah menciptakan bangsa ini semakin dekat dengan apa yang diangankan (desire) namun semakin jauh dari apa yang dibutuhkan (need). Memicu irasionalitas dalam berkonsumsi. Menciptakan gejolak melalui hadirnya benda-benda produk asing yang menawarkan pemuasan keinginan. Membiak melalui sentra-sentra perbelanjaan di desa dan di kota pelosok nusantara . Sementara kebutuhan bahan pokok kini langka di peredaran permintaan rakyat banyak .

Kelaparan tumbuh mengiris hati berdampingan dengan kemewahan yang menjadi . Gambaran ekonomi (anggaran rumah tangga) negara yang sedang timpang (defisit). Negara yang besar pasak daripada tiang. Pasak yang mewah dimiliki segelintir orang dimana tiang sandang, pangan dan papan hanya menjadi impian bagi para pengemis dan gelandangan. Bisakah pasar dikendalikan oleh negara yang menjadi rumah warganya ? Mungkinkah para gelandangan lapar kembali menghuni rumah tinggalnya ? Bisakah pasak-pasak kemewahan menegakkan kembali tiang-tiang rumah mereka yang kini hidup bergerombol di jalanan ? Dan dapatkah irasionalitas dalam pasar digeser oleh rasionalitas negara agar lahir kebijakan obyektif dimana orang banyak bisa hidup sejahtera ?

Konsumerisme kini tumbuh di dalam kehidupan pasar. Terdorong oleh pemenuhan keinginan yang melampaui dari apa yang dibutuhkan. Pemilikan benda-benda yang diangankan lebih memberikan kepuasan atas pemenuhan barang-barang pokok yang dibutuhkan. Bentuk keinginan berlebihan yang disebabkan tuntutan egoisme menuju realitas ekonomi yang sakit. Mengabaikan pemenuhan kebutuhan wajar dan kolektif bagi tumbuhnya ekonomi yang sehat. Tercetus oleh spontanitas iklan untuk meraih untung menggelembung. Mengorbankan tuntutan permanen atas barang-barang pokok yang dibutuhkan. Bentuk eksploitasi atas angan-angan konsumen yang menimbulkan banyak kefrustasian. Pasar melalui irasionalitas yang dikandungnya telah merusak organ ekonomi bangsa dengan menyumbat kemajuan penyaluran kebutuhan bagi rakyat yang belum sejahtera.

Sifat pengrusakan dari pemenuhan angan-angan yang demikian telah menciptakan perilaku korup . Menyusutkan rasa optimis untuk maju karena hidup dihadapkan pada kesulitan dalam usaha pemenuhan kebutuhan. Sementara laba berlipat ganda dikantungi kaum asing dengan pesta pora karena penciptaan atas impian yang melenakan. Disaat tak terpenuhinya kebutuhan meski sekedar untuk melangsungkan kehidupan. Inilah gejala dimana manusia tidak berdaya atas pemilikan uang yang menjadi nadi dari kehidupan pasar. Karenanya, hanya melalui upaya pengendalian pemanfaatan uang atas warganya, pasar untuk pemenuhan kebutuhan dapat memberikan kesejahteraan.

***
Ekonomi nasional yang sehat adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan rakyat secara keseluruhan yang disertai dengan terkendalinya dorongan atas pemenuhan keinginan yang berlebihan. Melalui ekonomi yang sehat itulah suatu bangsa dapat melakukan percepatan pertambahan akumulasi modal keuangan demi peningkatan produktifitas.

Dengan demikian, pertambahan akumulasi modal merupakan bentuk akibat dari semakin tumbuhnya sikap asketis di kalangan warga negara, yaitu sikap berjuang melalui pengendalian diri dari kemalasan dan keinginan di luar kebutuhan. Dan peningkatan produktifitas disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang bertanggung jawab (responsible) atas pemenuhan kebutuhan rakyat. Bijak dalam arti selalu memenuhi kebutuhan secara wajar dengan waspada terhadap kemungkinan terjadinya kesengsaraan. Melalui pencapaian itulah rasa tanggungjawab warga negara terbina. Dimana rakyat berupaya untuk selalu menciptakan pertambahan akumulasi modal bagi pemilikan melalui peningkatan produktifitasnya. Dan tanpa adanya tanggung jawab rakyat demikian, tindakan (kebijakan) pemerintah menjadi sia-sia. Disebabkan biaya (anggaran) pemenuhan kebutuhan rakyat bersumber dari roda keuangan rumah tangga dari negara yang dihuninya.

Tingginya bantuan dan hutang luar negeri merupakan bukti dari lemahnya kerjasama antara pemerintah dan rakyat, sekaligus menunjukan rendahnya kemandirian diantara keduanya . Oleh karena itu, kerjasama dan kemandirian diantara pemerintah dan rakyat harus selalu diupayakan. Kemandirian negara ditegakkan melalui upaya oposisi politik dari rakyat untuk mengontrol kegiatan pemerintah sejalan dengan konstitusi. Dan kerjasama ditumbuhkan melalui sikap patuh atas hukum untuk menjamin terlaksananya tujuan bernegara .

Upaya oposisi menjadi sumber dinamika perubahan politik bagi lahirnya kebijakan negara kearah yang lebih obyektif , dan sikap untuk mematuhi hukum menjadi sumber perekat antara rakyat dan pemerintah dalam menjalankan tanggungjawabnya. Dengan demikian, kepatuhan terhadap hukum merupakan tiang bagi terjaminnya rasa keadilan di kalangan warga negara, elemen sosial, partai politik, serta kelembagaan negara. Dan oposisi politik menjadi motor penggerak yang memotivasi penciptaan kebijakan inovatif untuk memenuhi tuntutan obyektif kehidupan rakyat. Oleh karena itu, oposisi dalam politik dan kepatuhan terhadap hukum di dalam kehidupan bernegara menjadi kebutuhan paling dasar dalam melahirkan kebijakan yang adil bagi kesejahteraan rakyat.

Obyektivitas dengan sendirinya harus menjadi sumber dari rasa tanggungjawab dalam penentuan kebijakan bernegara . Dimana pada satu sisi dapat memperkukuh rasa kebangsaan yang berakibat dengan semakin tingginya motivasi rakyat untuk berprestasi. Dan pada sisi lain dapat mengurangi tingkat ketergantungan terhadap dunia luar yang ditandai dengan semakin berkurangnya bantuan dan pinjaman luar negeri.

***
Pemuasan keinginan pribadi tanpa pertimbangan akan terpenuhinya kebutuhan bersama, merupakan perilaku despotik yang menjatuhkan dedikasi. Pemenuhan kebutuhan bersama tanpa keinginan pribadi untuk maju merupakan perilaku subsisten yang menciptakan kesengsaraan berkepanjangan. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan bersama harus menjadi batas kewajaran dari tujuan kemajuan setiap pribadi dalam mendapatkan kepuasan. Dan kepuasan pribadi harus menjadi tujuan dari pemenuhan kebutuhan bersama agar mendorong penciptaan kegiatan produktif. Oleh karena itu, agar terhindar dari perilaku despotik dan subsisten diperlukan sikap asketis dalam hidup warga negara.

Sikap asketis merupakan bentuk pengendalian diri terhadap dorongan wajar atas keinginan untuk maju dalam mendapatkan kebutuhan. Penghindaran terhadap ekonomi subsisten dilakukan melalui asketisme duniawi yakni berjuang melalui kerja keras untuk meraih kemajuan pemilikan material (alat produksi). Dan penghindaran ekonomi despotik dilaksanakan melalui asketisme ukhrowi yaitu menunda kesenangan dengan mengasihi rakyat yang kekurangan untuk membina spirit hidup bersama (pajak/zakat, menabung dan sidqah jaariyah).

Tanpa sikap asketik roda perputaran ekonomi menjadi stagnan dan mekanik. Bentuk perputaran yang hanya tergerak oleh adanya bantuan dan pinjaman dari bangsa asing. Cermin dari organ-organ negara yang menjadi sumber daya bangsa hanya bertindak demi enaknya sendiri. Karenanya stagnasi dan mekanisasi ekonomi negara merupakan bentuk kehidupan yang diliputi oleh semakin banyak orang termotivasi oleh kepentingan pribadi semata. Pangkal kehancuran yang bersumber dari sikap egois dengan menanggalkan kenyataan hidup bersama .

Itulah gejala yang kian nyata dari irasionalitas berkonsumsi, merasuk dalam perekonomian bangsa. Padahal, perekonomian bangsa yang dikenal dengan sebutan koperasi telah bertahun-tahun diperjuangkan dengan bersandar pada organ-organ kerakyatan. Namun kini sokoguru ekonomi bangsa ini hidupnya masih bagai Umar Bakrie. Membina kepentingan bersama tapi tersisihkan nasibnya oleh kebijakan yang tidak adil, pengalaman yang harus menjadi pelajaran . Bukti dimana dalam perjuangannya lebih banyak orang yang masih mengedepankan kepentingan pribadi daripada kebersamaan. Bekerjasama dengan pemerintah (melalui menteri KUKM, dll), namun mengingkari adanya tuntutan akan perubahan kebijakan dari oposisi rakyat yang membutuhkan keadilan.

Nampaknya, kita harus segera menghadirkan “Guru Negara” setelah para “Guru Bangsa” semakin udzur. Guru yang membimbing untuk hidup tekun, rajin, hemat, kerja keras, jujur dan mengasihi sesama. Serta membimbing untuk menjadi manusia unggul dalam hidup berkompetisi. Seorang pembina yang disegani dalam memajukan kemandirian dan teladan yang dipatuhi dalam hidup bekerjasama. Pro-aktif dalam memperkuat kemandirian dan memperat kerjasama. Dengan usaha yang senantiasa berpijak pada tuntutan yang rasional dan kebutuhan obyektif demi mendapat surplus ekonomi.

Zaman telah berganti dari kebutuhan membangun rasa persatuan berbangsa menjadi tuntutan untuk memajukan hidup warga negara. Ruh kebangsaan kini menuntut raganya agar menjelma bukan hanya menjadi bangsa yang merdeka tapi juga negara yang sejahtera. Demikiankah maksud dari pengorbanan para pahlawan dan pendirian Bapak Bangsa berjuang melawan penjajahan merebut kemerdekaan ? Aset yang diwariskan untuk menegakan kehormatan rakyat melalui upaya peningkatan derajat kesejahteraan yang bermartabat.

***
(Matraman Jakarta, 9 Nopember 2007)

MENJINAKAN KEKUASAAN

Oleh : Iwan Gunawan
Tahun 2008.

Keinginan untuk membaca kembali karya Bertrand Russell seringkali hanya ada dalam benak-pikiran. Apa sebetulnya yang menarik dibalik karyanya ? Pandangan Russel mengenai kekuasaan terngiang di kepala. Bahwa kekuasaan menurutnya bagai ENERGI. Pemisalan yang bisa mencerahkan. Cara menelisik bagaimana kekuasaan dipraktekkan dalam kehidupan bernegara. Sebagaimana dipaparkan dalam bukunya yang berjudul “Kekuasaan : sebuah analisis sosial baru”1.

Bagi Russell, kekuasaan terus menerus berubah dari salah satu bentuk menjadi bentuk yang lainnya. Dan tugas ilmu sosial adalah mencari hukum-hukum mengenai perubahan itu. Sebab demikian, konsep dasar dari ilmu sosial adalah kekuasaan. Sebagaimana halnya energi merupakan konsep dasar fisika. Bentuk dari kekuasaan bisa seperti kekayaan, militer, otoritas sipil, pengaruh atas pendapat dan lainnya. Tidak satu pun dapat ditempatkan dibawah yang lain dan tak bisa dianggap sebagai tiruan daripadanya. Upaya untuk membahas salah satu bentuknya hanya akan berhasil sebagian. Seperti juga kajian mengenai salah satu bentuk energi akan cacat, kecuali bila bentuk lainnya diperhitungkan.

Tertuju sekilas pada kata pengantar yang ditulis Mochtar Lubis. Sangat menarik, Mochtar menorehkan kesan dari buku itu, bahwa dorongan pada kekuasaan berbentuk eksplisit pada pemimpin yang ingin berkuasa dan bersifat implisit pada manusia yang bersedia mengikuti sang pemimpin. Dengan berbuat begitu, para pendukung dan pengikut orang-orang yang berkuasa, merasa diri mereka juga telah ikut berkuasa. Dan dorongan pada kekuasaan dalam diri mereka telah terpenuhi.

Tragis memang, menurut Russell, bahwa dorongan untuk berkuasa ini pada setiap orang seakan tak kenal batas. Kekuasaan, memiliki pesona tertentu pada orang yang berkuasa. Jika makan nasi ada saatnya seseorang merasa kenyang, tidak demikian dengan kekuasaan. Nafsu untuk lebih berkuasa tak ubahnya juga seperti nafsu hendak kaya, dapat berkembang seperti tak ada batasnya sama sekali.
Itulah sifat nafsu berkuasa. Fenomenanya tidaklah sulit untuk ditemukan. Sejarah menukilkan, sepanjang 32 tahun Soeharto berkuasa, melalui sistim demokrasi Pancasila yang dianut orde baru, telah menjadi jalan bagi Soeharto dan para pengikutnya untuk tetap mempertahankan kekuasaan. Semakin lama, nafsu berkuasa itu semakin membuta. Hingga sampai waktunya Soeharto dan pengikutnya tidak lagi tanggap terhadap aspirasi yang menghendaki untuk turun takhta. Dan pada saatnya, badai krisis moneter yang tak disangka-sangka meruntuhkan rezim itu tanpa disadari sebelumnya. Sekaligus merontokan seluruh bangunan ekonomi yang dicapai melalui Top-Down. Konglomerasi istana yang menjadi kebanggaan dari keajaiban ekonomi di Asia Tenggara itu pun kemudian pailit dan terbanting. Buah dari demokrasi yang lalai dalam menegakan hal-hal yang benar dan melakukannya dengan cara-cara terbaik.

Tentu saja, relung-relung yang terpendam dalam benak membawa untuk mencari topik yang relevan dengan fenomena kini. Demokrasi hasil reformasi yang telah mencapai 10 tahun dewasa ini, tak sedikitpun bisa merubah kondisi kehidupan rakyat banyak. Impian akan kehidupan bersama dimana tanah air dikelola dengan baik, bangsa dipimpin atas kebenaran, dan bahasa dihidupkan untuk menyatu dengan kenyataan rakyat, malah semakin jauh bukan makin mendekat. Hasil hutan dan kekayaan alam menggelontor ke negera asing tanpa memberikan kesejahteraan bagi rakyat, para pemimpin bersuka cita menipu rakyat, dan rakyat semakin bertambah frustasi mendengar makna-makna kosong ucapan para pemimpinnya. Kemiskinan kini dialami oleh sekitar 109 juta jiwa dan pengangguran menimpa hampir 11 juta orang. Ketika kata-kata dalam konstitusi (Pasal 27 ayat [2]) menyuratkan:“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” !!!

Mungkin untuk memahami lebih dalam, patutnya membaca isi buku dari hulu ke hilir karya Russell itu. Namun benak hati rupanya tertuju pada bab akhir yang ditulisnya. Bab yang menggigit untuk dikunyah oleh relung-relung hati terdalam, yaitu soal “Menjinakan Kekuasaan”.
Tentu saja, untuk mencernanya tidak perlu dimulai dari pertanyaan mengapa kekuasaan harus dijinakan. Karena sudah sangat nyata bahwa dalam sejarah Indonesia moderen, tak ada penguasa yang sanggup mengendalikan diri dan tanggap untuk memberikan hak-hak rakyat sepenuhnya. Selalu diiringi penggalan-penggalan sejarah memilukan tentang perampasan, pemerkosaan dan perampokan akan hak-hak rakyat oleh para penguasa di negara yang merdeka sejak 63 tahun lalu ini.
Agaknya, perlu dikaji bahwa ada dua anggapan akan perkara menjinakan kekuasaan ini. Filsuf mashur Inggris itu menuliskan, di satu sisi TAO menganggapnya tidak dapat dipecahkan, dan mereka menganjurkan anarkisme. Dan pada sisi lain, para pengikut KONFUSIANISME yang mengandalkan pendidikan. Pentingnya etika dan cara memerintah yang diharapkan dapat mengubah para penguasa. Agar mengendalikan dengan bijaksana dan mampu menahan diri dari tindakan-tindakan yang berlebihan dan memiliki keutamaan.

Walau bagaimanapun Russell tak hanya berangkat dari adanya gelombang demokrasi yang kini menggerus negara-negara otoriter melalui berbagai celah. Karena demokrasi adalah kepastian merenggut maut negara-negara yang secara ketat menjadikan penguasa sebagai tuannya sendiri. Sebagaimana dinyatakan Russel yang juga ahli matematika ini, “bagi setiap orang yang mempelajari sejarah atau sifat dasar manusia. Pasti memahami, bahwa demokrasi meskipun bukan suatu pemecahan yang tuntas. Tapi merupakan suatu bagian yang pokok dari pemecahan yang tuntas”. Karenanya, bagi Russell, untuk menuntaskannya selain memperhitungkan kondisi (1) politik (demokrasi), tapi juga (2) ekonomi; (3) propaganda; dan (4) psikologis dan pendidikan.

Era reformasi yang telah menyokong lahirnya demokrasi politik, nampaknya telah menyuburkan banyak gagasan, bagaimana demokrasi sebagai persyaratan menjinakan kekuasaan bisa dihidupkan. Namun, antusiasme ke arah demokrasi politik itu ternyata kurang diiringi dengan kehendak untuk menciptakan demokrasi ekonomi. Sehingga kemudian timbul cetusan yang mendevaluasi demokrasi politik. Ungkapan yang dinyatakan Wakil Presiden Yusuf Kalla, beberapa waktu lalu bahwa demokrasi hanyalah alat untuk menciptakan kesejahteraan, patut disimak. Dari sisi negatif, bisa ditafsirkan sebagai kecenderungan untuk men-dispute perkembangan ke arah demokrasi politik. Tapi pada sisi positif, merupakan kritik bahwa demokrasi harus terlaksana secara efisien guna membuahkan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat.
Namun demikian, apa sebenarnya kelebihan demokrasi (politik) itu ? Bagi Russell, kelebihan-kelebihannya justru bersifat negatif : Demokrasi tidak menjamin adanya pemerintahan yang baik, namun ia mencegah keburukan-keburukan tertentu2. Sementara itu, gagasan dan penerapannya di Indonesia terus bergulir ke satu gugus tanpa peduli pada ekonomi. Mungkin kita perlu menengok persyaratan ekonomi yang nampaknya kurang mendapat perhatian yang seimbang daripada politik itu. Karena hal inilah, perlu untuk mengungkap kembali kondisi ekonomi bangsa sebagai persyaratan lain untuk menjinakan kekuasaan. Dengan sendirinya, untuk memfokuskan pencerahan, perhatian terhadap propaganda dan pendidikan sebagaimana persyaratan menjinakan kekuasaan lainnya, ditampilkan menjadi bagian pelengkapnya.
Bangsawan yang wafat dalam usia 102 tahun ini menuliskan, baik demokrasi (murni) maupun Marxisme bertujuan untuk menjinakan kekuasaan. Yang pertama telah gagal karena ia demokratis di bidang politik saja. Dan yang kedua gagal karena yang diperhatikan hanya bidang ekonomi. Tanpa menggabungkan keduanya, tidak mungkin dicapai apa pun yang mendekati pemecahan terhadap masalah itu. Mengapa terjadi kecenderungan demikian ?

Bagi pemenang Nobel Sastra di tahun 1950 ini, kegagalan Marxisme nampaknya bersumber dari berbagai dukungan pemilikan negara atas tanah dan aneka organisasi besar lebih didominasi oleh alasan yang semata-mata politis dengan mengabaikan teknik ekonomi. Akibatnya tanpa sengaja telah memunculkan suatu tirani baru, di bidang ekonomi sekaligus politik. Seolah-olah dunia bisnis itu kepunyaan para kapitalis individual, dan tidak mau mengambil pelajaran dari pemisahan antara pemilikan dan kekuasaan.
Bagaimana dengan demokrasi murni ? Analisis Russell cukup tajam. Menurutnya, perlu dibedakan antara “pemilikan” dan “penguasaan”. Sebagian besar perusahaan (di Amerika), menunjukkan semua direktur biasanya secara bersama-sama hanya memiliki sekitar satu atau dua persen dari seluruh saham, namun mereka pada hakekatnya mempunyai kekuasaan penuh atas itu. Akibatnya, kaum kapitalis para pemegang sahamnya sekalipun tak mempunyai kuasa, penghasilan darinya menjadi sangat tidak menentu. Hingga penanam modal yang bersahaja itu pun dapat dirampok dengan cara yang sopan dan sah menurut undang-undang. Dimana tidak ada bedanya dengan kekuasaan atas pemilikan dikuasai oleh negara.

Oleh sebab itu, menurut Russell, walaupun pemilikan dan kekuasaan negara atas semua industri besar dan keuangan merupakan suatu persyaratan yang perlu untuk menjinakan kekuasaan, ia masih jauh dari memadai. Persyaratan itu masih harus dilengkapi dengan suatu demokrasi yang menyeluruh, lebih terjamin terhadap tirani resmi, dan dengan ketentuan-ketentuan yang lebih tegas mengenai kebebasan propaganda (baca : pers), dibandingkan dengan setiap demokrasi politik murni yang pernah ada.
Ia kemudian mengutip Eugene Loys,”dan jika tidak ada alat-alat pengerem berupa pengawasan yang benar-benar demokratis dan ketentuan-ketentuan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi untuk menegakkan legalitas yang harus ditaati setiap orang, kekuasan itu akan menjadi mesin penindasan”. Sebab, jika tidak diawasi dengan ketat kekuasaan pemerintah dan orang-orang yang menguasai industri dan keuangan akan bergabung menjadi penindas.

Penjinakan kekuasaan melalui propaganda pengawasan, dengan demikian, dimaksudkan Russell, berarti mengikis watak otoriterisme teknikal yang terlindungi oleh kesewenangan yang diresmikan. Selain mencegah demokrasi yang mengarah pada kekuasaan totaliter. Sebab demokrasi dan kebebasan tanpa adanya kekuasaan dalam pengawasan dapat menjadi mesin untuk memuaskan nafsu berkuasa, bukan untuk kesejahteraan rakyat. Kita tidak berharap, bahwa rakyat yang mayoritas kurang pendidikan (hanya tamatan Sekolah Dasar), kemudian berpikir bahwa tiada lagi jalan untuk menumpas kemiskinan dirinya selain dengan merampas, mencuri, merampok dan membunuh. Sebagaimana culasnya para penguasa politik dan ekonomi yang dengan lembut melakukan praktek korupsi dan kolusi, berlindung pada legalitas.

Nampaknya, demokrasi hanya baru memberikan kebebasan resmi, sementara rakyat tidak memiliki “kekuatan” memadai untuk mengontrol para penguasa yang telah dipilihnya. Demokrasi yang tidak memberikan kebebasan riil (nyata) untuk meraih kesejahteraan adalah bentuk keterpasungan dan kemiskinan yang cenderung mendorong hasrat bagi lahirnya pemerintahan totaliter. Legalitas seharusnya bukan hanya menegaskan eksistensi dari otoritas, namun lebih dari itu harus memberikan kekuatan dan kemudahan untuk mengontrol perilaku penguasa sejalan dengan cita-cita kesejahteraan. Tanpa itu, bahwa demokrasi akan menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat banyak hanyalah isapan jempol belaka.
Kebanyakan rakyat rupanya memilih jalan Taoisme (anarkis). Apa daya di tengah anggaran pendidikan yang ditetapkan 20% dari anggaran keseluruhan APBN, sejak amandemen konstitusi, mampet oleh tangan-tangan korup. Impitan ekonomi menjadi alasan yang selalu menjelma terjadinya kekerasan. Kekerasan kini tampil semakin memilukan. Ditandai dengan suburnya tragedi pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri. Wilayah kekuasaan keluarga yang penuh kasih kini telah runtuh sebagai benteng terakhir perlindungan para anak bangsa. “Beban hidup yang kian berat, tidak mampu ditanggung rakyat sendiri. Membuat mereka pun frustasi. Seharusnya negara membela rakyat kecil yang tidak punya” (Kompas, 29 Maret 2008).

Tentu saja kita marah dan ingin bangkit melawan. Para penguasa yang sejatinya melindungi orang banyak malah abai atas tanggung jawabnya dengan memupuk kekayaan pribadi. Namun kemudian kita ingat bahwa negara yang kita punya, tidak diperjuangkan oleh kata-kata kosong melainkan oleh darah dan pengorbanan. Rivai Apin (1949) mengingatkan dalam puisinya : Ingatlah bila angin bangkit/ Bahwa daerah yang kita mimpikan/Telah bermayat/ Banyak bermayat.

Dibawah matahari Indonesia, masih ada jalan untuk membangun, menghidupkan kata-kata yang sedang sekarat. Mari kita awasi implementasi anggaran di berbagai sektor yang semakin ganas di korup karena ambisi berkuasa dan ambisi menjadi pengikut para penguasa. Kita tidak berharap mayat-mayat korban demokrasi terus melimpah, mengapung diatas pusara para pejuang lahirnya Indonesia merdeka. Nasehat sesepuh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), Solikhin (70 tahun) yang beberapa hari lalu saya temui, perlu menjadi peringatan “Memang menyedihkan, tapi kita tak boleh sedih (la takhzan). Kesedihan hanyalah membuat kita menjadi bangsa tidak beradab. Bertindak hanya dengan rasa amarah meluap-luap”. Mari jinakkan kekuasaan dengan cara-cara yang beradab !!! (Igj/Maret/2008).